Saya mulai meragukan kredibilitas media ketika dilibatkan teman-teman publisher dalam proyek media onlinenya. Dan saya mulai menjadi 95% persen tidak percaya media massa sebagai pendidik masyarakat di era demokrasi sejak menjelang pemilu parpol dan presiden 2014. Kini saya sadar 100% kebobrokan lembaga pers itu.
Alangkah sedihnya RM Tirto Adhi Soerjo di alam sana melihat lembaga pers dirusak oleh kepentingan modal dan segolongan orang rakus. Saya turut melihat kekecewaan para wartawan dan redaktur senior yang masih idealis, yang masih bisa saya ikuti pemikirannya sampai sekarang. Pers yang seharusnya bergerak seperti Medan Prijaji zaman dulu, kini tinggal nama, karena pers sekarang menjadi media pencitraan saja.
Dan ternyata kekecewaan terhadap media nasional, yang lebih sibuk bisnis ketimbang mempertahankan kebenaran, sudah diutarakan Cak Nun sejak tahun 1998, yang membuat agenda reformasi gagal total. Maka sejak itu beliau menghindarkan dirinya dari media-media nasional dan tidak memperkenakan acaranya dimanfaatkan mereka. Beliau mempersilahkan TV-TV lokal untuk menayangkannya, tanpa transaksi bisnis, tapi sedekah maiyah kepada TV lokal dan masyarakat.
Memahami informasi sekarang harus lebih cerdas. Cara pandang, sudut pandang, jarak pandang, dan resolusi pandangnya (menurut mas Sabrang) harus diolah terus agar input yang masuk diproses dengan waras oleh pikiran dan menghasilkan output yang tepat dan bermanfaat. Terutama kaum intelektual yang sekarang cenderung grusa-grusu dan mulai ikut-ikutan brangasan. Apalagi masyarakat awam yang dicekoki ajaran agama yang doktriner tanpa menggunakan pendekatan tasawuf, golongan ini tak kalah horornya.
Tak heran jika di era ini prasangka bisa menjadi dalil, karena saking praktisnya. Dan kecurigaan serta ketidakpercayaan semacam itulah yang membuat agenda reformasi 1998 bubrah tidak karuan karena manipulasi informasi yang parah dan keawaman rakyat dalam mencerna berita.
Juwiring, 21 Juni 2016