Secara obyektif, pemberian bonus kepada para atlet juara sebelum Asian Games 2018 ditutup adalah hal yang baik. Pemerintah generasi selanjutnya lebih baik tetap melanjutkan tradisi ini. Atlet-atlet akan lebih bersemangat dalam bertanding.
Bahwa kemudian dipolitisasi oleh para cebong dan kampret untuk kepentingan kampanye mereka itu soal lain. Bagi cebong, kebijakan ini dianggap akan menghapus tagihan seluruh janji-janji pemerintahan rezim ini yang sebagian besar tidak tertunaikan. Bagi kampret, kebijakan ini adalah sekedar pencitraan belaka untuk menarik perhatian di pilpres 2019.
Demikian pula gelaran Asian Games 2018 ini. Bagi rakyat macam kita ya nikmati saja. Toh bagus juga kok. Bagi cebong, keberhasilan capaian-capaian selama Asian Games 2018 bisa senilai dengan utang luar negeri yang membengkak drastis hingga besok kita harus siap-siap dengan segala kemungkinan krisis ekonomi. Bagi kampret, propagandanya tetap sama bahwa ini hanya ajang pencitraan.
Berat nian menjadi Presiden di negeri yang rakyatnya menganut doktrin ratu adil. Presiden Jokowi terpilih di 2014 merupakan momentum munculnya politisi sipil tulen ke panggung politik. Tapi karena bahan baku pemerintahan kita adalah birokrat korup dan kekuasaan oligarki yang menyeluruh, tidak mengherankan jika dalam menyusun kabinet, kebanyakan menteri yang dipilih ya pesanan para kapitalis.
Dibandingkan rezim sebelumnya, rezim ini lebih terang-terangan menunjukkan liberalisasi ekonominya. Di mana nawacita Presiden? Mungkin masih ada dalam semangat beliau, tapi tidak didukung para menteri dan cukong yang berkuasa penuh. Presiden hanya bisa membuat pernyataan, tetapi eksekusi tetap di tangan menteri, birokrasi, dan para pemegang tender. Siapa mereka? Ya warisan orde baru itu juga kan.
Maka wacana ganti presiden sebenarnya bagi saya tidak terlalu penting juga. Kalau memang serius, rakyat harusnya bergerak demonstrasi menuntut kepada presiden, ketua MPR, atau yang lainnya untuk mengembalikan tatanan konstitusi kita kepada UUD 1945 asli agar undang-undang yang melegalkan liberalisasi ekonomi batal demi hukum.
Tapi sepertinya itu akan sulit terwujud di masa ini. Sebab polarisasi rakyat sejak 2014 benar-benar melahirkan fanatisme buta yang parah. Semangat kita bukan lagi semangat kebangsaan dan kenegaraan, tapi semangat partisan. Rakyat segini banyak lebih senang ikut-ikutan para politisi. Kalau para politisi kan jelas tujuannya, memenangkan kontestasi dan menduduki kursi kekuasaan. Kalau mereka sudah berkuasa, rakyat tetap akan jadi obyek percobaan mereka lagi.
Sejak 1998 sebenarnya tidak ada reformasi. Yang ada amandemen konstitusi agar negara ini jatuh ke dalam tatanan yang sangat liberal dan kapitalistik, sehingga semakin jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila. Rakyat semakin materialistik orientasinya. Para penguasa dan kapitalis makin senang sebab mereka bisa melanggengkan penjajahan mereka atas negeri ini.
Surakarta, 2 September 2018