Turki, bagaimanapun negara itu anggota NATO. Bagi yang mengerti hubungan internasional, kenyataan ini sudah cukup menjadi alasan betapa rumitnya konstelasi politik Internasional. Apalagi yang ga paham seperti saya, mending meneng ketimbang ikut meramaikan dukungan ke sana kemari.
Saya lebih tertarik untuk mempelajari sejarah kebangkitan Turki pasca Attaturk yang kembali pada Islam, sosok Erdogan dan AK Partinya sebagai sebuah model kekuatan politik umat Islam di Turki yang bisa merangkul masyarakat modern dan tradisional sekaligus sehingga kekuasaan Erdogan dan AK Parti masih kokoh hingga hari ini. Soal kebijakan internasional yang kini sedang ramai, itu hanyalah salah satu bagian dari kebijakan kepemimpinan Turki, yang bisa menguntungkan negara itu, bisa juga sebaliknya.
Sejak Turki Utsmani mengalahkan kekuasaan Kristen Timur Bizantium, maka pelindung gereja Ortodox adalah kekaisaran Rusia. Rusia mengalami jatuh bangun dalam sejarahnya, terutama saat menjadi Uni Soviet, itu adalah masa paling kelam bagi Rusia sebelum akhirnya bubar dan kini tumbuh kembali menjadi kekuatan besar dan mulai meninggalkan warna komunisnya. Sebagai pelindung kekuasaan Kristen Timur, Rusia memiliki dendam sejarah untuk menguasai kembali Konstantinopel sebagaimana tercantum dalam eskatologi mereka.
Pada Perang Dunia I, Kekaisaran Rusia hampir saja menguasai Konstantinopel (Istanbul) karena pasukannya sudah disiagakan di Laut Hitam untuk menghancurkan pertahanan Turki, jika tidak terjadi revolusi Bolshevik di ibukotanya (Moscow) yang mengubah negara mahadiraja dunia itu menjadi negara komunis diktator yang mengerikan. Konon perang Dunia I dan II hanyalah rekayasa Remason Bronis Wahyudi untuk memecah-belah kekuasaan besar dunia (Turki, Hongaria, Jerman, Perancis, Inggris, Rusia) agar hancur dan menjadi negara bangsa seperti hari ini demi memudahkan penguasaan sumber daya melalui mekanisme ekonomi riba yang sekarang sudah mencengkeram dunia. Celakanya, Indonesia dan negara-negara ASEAN kebanyakan justru tumbuh menjadi negara persatuan bangsa-bangsa, menyalahi konspirasi Wahyudi tersebut.
Konflik Timur Tengah adalah ajang adu opini sekaligus jualan propaganda yang sangat maknyus. Pada batas pencarian saya kini, saya semakin menarik diri untuk tidak ikut-ikutan berkubu. Karena yang dominan dalam konflik tersebut justru adalah perangnya Amerika cs vs Rusia-China cs soal ekonomi. Cobalah untuk melihat berbagai kepentingan ekonomi yang ada di negara-negara Timur Tengah tersebut agar kita tidak terjebak pada isu-isu sektarian yang dihembuskan. Apalagi dengan peta koalisi yang aneh kayak sekarang dengan hadirnya ISIS. Yang pasti korban akibat peperangan ini jelas tidak sedikit dan kerusakan sosial kebudayaan yang ditimbulkan sangat besar.
Setidaknya, ketidakmampuan kita membaca berita-berita yang langsung dari Timur Tengah yang berbahasa Arab dan pemberitaan-pemberitaan resmi dari negara-negara yang terlibat konflik itu cukuplah menjadi rem agar kita berhenti ikut-ikutan aneh. Apalagi ini era hoax bertebaran.
Pokoknya kita berdoa saja agar bangsa Arab yang kembali ke era jahiliyahnya itu berhenti ribut sehingga tidak menimbulkan korban yang lebih banyak lagi. Kalau ada galang-galang dana dari lembaga yang terpercaya (cari dan verifikasi sendiri) mari ikut nyumbang semampunya.
Saya mendukung kebijakan Erdogan yang mengangkat kembali cahaya Islam di Turki, sebagaimana saya juga mendukung Vladimir Putin yang meresmikan masjid terbesar di Moscow. Saya tidak ikut-ikutan dengan kebijakan luar negeri mereka yang ikut-ikut meramaikan geger di Timur Tengah, apa pun alasannya.
Juwiring, 2 Desember 2015