Sependek pengetahuanku, negara bangsa adalah produk perjanjian-perjanjian yang terjadi pasca Perang Dunia I dan II. Apa motif perang itu, ya demi membentuk tatanan ekonomi baru. Bikin senjata masak nggak dijual dan dipakai buat membunuh, maka dibuatlah perang, carane pokoke ngono kuwi.
Yang aneh (dan keren) menurutku, Indonesia justru menyalahi hal itu karena kita adalah negara perserikatan bangsa-bangsa (saya sepakat dengan konsep ini, kita bukan kumpulan suku bangsa, tapi kumpulan bangsa-bangsa). Maka peristiwa sumpah pemuda hingga Proklamasi 17 Agustus 1945 sebenarnya hanya buah dari sebuah proses kebudayaan yang panjang bagaimana bangsa-bangsa lintas pulau ini memiliki kesadaran untuk bersatu menjadi sebuah nama bangsa baru dan membentuk satu pemerintahan negara baru.
Sungguh, saya tidak bisa membayangkan bagaimana antar bangsa ini bisa berlapang dada dan memberikan kepercayaan kepada yang lain, khususnya kepada bangsa Jawa. Apakah karena populasinya paling banyak, atau karena apa, tapi intinya kerelaan para founding fathers bangsa saat itu yang berasal dari ratusan bangsa memberi mandat kepada pasangan Jawa – Minang untuk mengkoordinasi ratusan bangsa di Nusantara ini jelas sesuatu yang luar biasa.
Mengapa bisa begitu harmoni ini? Konon salah satu faktornya adalah konsep perdagangan yang sudah terbangun sejak era pra-Islam. Yang kedua, jalinan ini dikuatkan dengan adanya tradisi kependidikan di pesantren. Prosesnya terjadi dalam berbagai periode dan dengan bentuk-bentuk pembaharuan tersendiri. Yang jelas, keberadaan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dan kerajaan-kerajaan sebelumnya adalah representasi dari eksistensi bangsa-bangsa yang pernah ada yang kemudian mau melebur dan memberi mandat kepada negara baru yang paling buncit dan “nganu” saat ini, NKRI. Bisa dikatakan, para orang tua kita dahulu, lebih percaya kepada NKRI daripada Hindia Belanda untuk urusan pemerintahan. Meskipun kita sama-sama tahu bagaimana perilaku NKRI terhadap rakyat (yang menjadi orang tua yang melahirkannya).
Parahnya, proses penyatuan ini tak lepas dari gangguan yang selalu timbul tenggelam, baik karena faktor eksternal maupun internal. Pokok masalahnya satu, kita diadu domba agar berpecah belah dan bermusuhan. Baik dengan ideologi yang diterapkan mentah-mentah, maupun hanya dengan isu-isu remeh tapi mengeksploitasi kebodohan dan keluguan masyarakat. Proses eksploitasi ini terjadi karena faktor tatanan feodalistik yang terjadi di masa lampau yang distir oleh segelintir orang-orang curang yang berhasil mengambil hati masyarakat.
Kita sekarang terus diuji apakah masih mampu bersatu atau suatu saat sampai kepada puncaknya untuk mengikuti mainstream dunia yang berhasil dipecah-pecah menjadi negara bangsa. Isu-isu seperti ini terus dihembuskan dan diciptakan. Organisasi sparatis di beberapa daerah terus dipelihara agar mengacau. Dan terutama media sudah tidak dapat diharapkan lagi dalam mendidik masyarakat, di samping masyarakat juga mulai suka nonton yang “nganu2” saja.
Di negeri ini, kita masih bisa bertahan dengan kehidupan sedekah. Mengapa sedekah? Karena proses-proses penyelamatan negeri ini dari adzab adalah proses-proses sedekah. Coba kita identifikasi beberapa saja. Misalnya dari pelaksanaan konsitusi. Apakah negara benar-benar menjamin kehidupan fakir miskin dan anak-anak terlantar dengan mekanismenya? Sebagian saja kan, bahkan sebagian kecil saja. Sebagian besar dilaksanakan masyarakat baik secara langsung maupun lewat LSM yang terpercaya. Dan bersamaan dengan itu terkadang berlangsung pula proses korupsi, tapi yang lebih parah adalah di lembaga-lembaga negara (udah akuin aja).
Contoh lainnya, apakah Kemendagri dan Parpol memberikan pendidikan politik yang memadai kepada masyarakat? Jelas tidak, kalau masyarakat Indonesia paham politik, mereka ga bakal dieksploitasi sampai “nganu” seperti sekarang. Maka hari ini forum-forum non politik semakin banyak digelar demi memberikan penddikan politik kepada masyarakat agar tidak ditipu oleh negara dan para politisi parpol. Bukankah ini fenomena sedekah. Contoh lainnya, apakah yang disebut “ulama-ulama” di negeri ini masih sebanyak dahulu yang serius dan setiap hari menangis demi umatnya? Jawabannya, mungkin sudah berkurang banyak. Sebagai seorang muslim, saya percaya bahwa ketenteraman suatu masyarakat itu salah satu faktornya adalah keberadaan ulama. Jadi jika sekarang masyarakat itu gegeran, boleh jadi memang kita krisis ulama sejati, meskipun di masyarakat itu memang yang digelari “ulama” masih banyak.
Proses-proses sedekah yang dilangsungkan sendiri oleh elemen bangsa, yang tidak lagi peduli ada negara atau tidak. Proses-proses kesadaran untuk memperbaiki elemen bangsa di segala bidang dari segelintir orang yang mungkin sekarang sering ditertawakan barangkali membuat Allah terharu. Sehingga Dia menangguhkan marah-Nya dan tak lekas mengadzab kita yang sudah kelewat keterlaluan ini. Apa susahnya jika Dia kirim kita tsunami dari dua samudera, apa susahnya gunung-gunung berapi suruh bersin sesekali dua kali saja, apa susahnya angin puyuh diminta jalan-jalan sesukanya, apa susahnya bumi disuruh ngolet karena gatal dengan perilaku manusia yang tinggal di atasnya. Tapi semua itu Dia tangguhkan dan tidak dia perkenankan terjadi secara masif. Paling sesekali saja dan dalam skala kecil. Itu pun nanti kalau terjadi, kebanyakan orang masih sibuk hanya membahas soal pergerakan batuannya, lupa sama yang punya kuasa atas lempeng bumi itu.
Maka di peringatan proklamasi 17 Agustus 2015 nanti, saya akan menghormat sang Merah putih dan Pancasila karena keduanya adalah pusaka yang diwariskan para pendahulu bangsa ini. Yakni para syuhada yang telah membela tanah air dengan jiwa keberaniannya. Mereka juga telah membuat perjanjian luhur nilai-nilai agung dalam Pancasila yang merupakan perpaduan khazanah pokok-pokok ajaran Islam dan mozaik kebudayaan luhur bangsa-bangsa di Nusantara ini. Saya akan menghormati perjuangan mereka, bukan sekedar wujud merah putih maupun burung garudanya. Karena kalau cuma memberi hormat secara verbal, para koruptor negeri ini juga gampang melakukannya, sebagaimana mereka juga gampang melakukan umrah, haji, dan shalat.
Saya akan menghormat kedua pusaka itu bukan karena NKRI. NKRI hanya sebuah negara yang dipercaya untuk menjalankan amanat Pancasila dan menjaga sang merah putih. Jika sudah “nganu” begitu, maka ya harus diperbaiki. Jika tak bisa diperbaiki lagi, ya sebagai rakyat kita perlu merumuskan kesepakatan baru agar si bungsu yang sudah sangat “nganu” itu mau bertobat atau dicutat sekalian saja karena kekurangajarannya. Rakyat Indonesia lebih besar dari negara yang didirikannya.
Surakarta, 16 Agustus 2015