Memberi mandat tanpa tahu cara mengawasi dan mengontrol penerima mandat itu sebenarnya termasuk bentuk apatisme bukan sih?
Kan gini, katakanlah 1000 orang ikut pemilu, yang tahu caranya dan memiliki kemauan mengawasi penerima mandat cuma 10 orang, sisanya cuma ikut-ikutan.
Ketika terpilih beberapa kandidat dan menjadi penerima mandat kekuasaan (baik di eksekutif dan legislatif) yang teriak-teriak sampai serak cuma 10 orang ini. Yang 990 orang tahunya sebatas bahwa demokrasi itu memilih, setelah itu pasrah borongan.
Nah kalau para penerima mandat berbuat semaunya, mungkinkah suara keras 10 orang ini bisa lebih berarti dibandingkan 990 orang lainnya? Bahkan di antara 990 orang ini ternyata masih ada yang suka pasang badan memuja dan membela si penerima mandat.
Jadi demokrasi elektoral itu sebenarnya punya prasyarat yang berat, yaitu memastikan calon pemilih itu tahu dan mau bertanggung jawab ketika memberi keputusan berpartisipasi dalam demokrasi. Tapi di Indonesia, prasyarat yang sangat mendasar itu diabaikan. Yang untung kan jadinya ya politikusnya, dijamin langgeng berkuasa.
Orang-orang yang menjalankan aksi kamisan maupun yang protes secara substansial baik mengirim surat, nulis di medsos, dll kan ibarat 10 orang dari populasi 1000 orang tadi. Mereka teriak-teriak sampai serak, sementara yang 990 orang lainnya nggak jelas. Malah ada yang pasang badan buat penguasa. Ada juga yang kampanye mau ganti penguasa. Kan sama-sama nggak bermutunya.
Surakarta, 22 April 2019