Yang tetap membuat saya heran adalah orang-orang yang kuliah sampai doktor, bahkan jadi dosen-dosen di perguruan tinggi itu kok ada juga yang gampang bersikap partisan. Padahal mereka dikaruniai kemampuan memahami hal-hal yang spesial berdasarkan keahliannya.

Kalau mereka menjadi staff ahli para politisi, saya masih bisa memaklumi jika kadang-kadang mereka pro dengan kubunya (walau sebaiknya tetap kritis dan obyektif). Lha kalau akademisi murni yang kebetulan tidak ditarik oleh parpol/ politisi untuk bekerja di pihaknya, kan lucu kalau mendadak jadi jokower atau prabower secara fanatik.

Kalau di medsos ada cebong dan kampret berkelas, saya malah senang menyimak berbagai narasi mereka. Sedangkan cebong dan kampret abal-abal, ga bakal saya gagas statusnya meski berseliweran. Tapi kalau akademisi yang bukan orang-orang fisipol mendadak jadi partisan kan lucu. Bahwa mungkin mendukung ke salah satu kubu, mbok ya gunakan sandi-sandi atau pertimbangan-pertimbangan yang ketat dan kritis sehingga tidak kelihatan lucunya.

Kan lucu sekali seorang ahli di bidang teknik sipil atau ahli fisika atau terserah ahli apa pun yang bertahun-tahun metodenya sangat ilmiah dan hati-hati dalam membuat keputusan atas proyek-proyek pembangunan infrastruktur mendadak jadi lucu dengan ikut-ikutan adu komen soal politik yang bukan bidangnya. Ya meskipun mau dukung siapa pun, kan akan lebih oke kalau disimpan di dalam hati dan disalurkan ke bilik suara saat pemilu.

Nah itu sampai sekarang saya heran. Dan keheranan saya itu mulai terjawab, ketika tahu bahwa perguruan tinggi sekarang adalah kaki tangan pemerintah, bukan lagi lembaga-lembaga pendidikan milik negara yang ditakuti pemerintah. Ya memang itu terjadi, sebab bangsa kita pun tidak bisa membedakan mana negara dan mana pemerintah.

Surakarta, 15 September 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.