Kita harus fair, bahwa
pasukan Persia,
kemudian pasukan Romawi Byzantium,
kemudian pasukan Madinah,
kemudian pasukan Frank Eropa,
kemudian pasukan Shalahuddin,
kemudian pasukan Utsmani,
kemudian pasukan Inggris dan koalisi Arab merdeka pro Inggris
sebenarnya sama-sama penakluk dan (bisa juga disebut) penjajah jika dilihat dengan kacamata ilmu sosial modern ini ketika mereka merebut tanah Syams (termasuk Palestina) dari penguasa sebelumnya.
Jadi dalam urusan ini, jangan berdebat soal klaim siapa yang paling berhak atas Palestina. Sebab orang Yahudi, Kristen, Muslim, bahkan para penganut agama lain yang lebih lawas juga memiliki klaim atas tanah itu.
Yang bisa kita urai adalah cara para penakluk ini mengambil alih kekuasaan dari tangan sebelumnya dan bagaimana memakmurkannya. Jadi jika saat ini kita bilang bahwa Israel adalah penjajah yang kejam bagi Palestina, ada alasan logisnya berdasarkan catatan sejarah. Cara-cara Israel mencaplok wilayah taklukannya brutal dan tidak beradab.
Penjajahan yang dilakukan Israel dapat dibandingkan secara obyektif dengan “penjajahan” yang dilakukan oleh Shalahuddin al Ayyubi ketika “menginvasi” Yerusalem dan merebut tanah itu dari bangsa Frank. Para penganut agama apa pun bisa membandingkan bagaimana perbedaan kualitas penguasaan yang dilakukan antara Shalahuddin al Ayyubi dengan para penguasa Israel.
Tidak ada yang menyangkal tentang kemuliaan Shalahuddin. Ia tidak hanya dipuji oleh umat Islam, tapi juga dipuji oleh lawan-lawannya yang pernah berhadapan dengannya. Hal itu ditulis kembali para sejarawan bagaimana keagungannya sebagai penguasa yang beradab. Lalu bandingkan dengan Israel, yang hingga hari ini “tetap dikucilkan” dalam pandangan masyarakat global. Mengapa dikucilkan? Sebab mereka menyalahi tradisi kemanusiaan dalam perang. Mereka memperlihatkan kebiadaban yang membuat para penguasa mana pun jijik melihat kelakuan Israel, kecuali AS. Sebab AS lebih dulu melakukan kekejaman yang serupa terhadap penduduk asli benua Amerika.
Di zaman modern ini, barangkali kita masih bingung dengan definisi penaklukan dan pembebasan. Sehingga kita juga sering berdebat kusir antara “penaklukan” dan “pembebasan”. Lalu kita termakan doktrin perang suci yang lucu. Sebuah bualan sejarah tentang perang yang membawa nama Tuhan. Padahal perang ya perang saja. Keyakinan pada Tuhan itu manifestasinya bukan pada perangnya, tetapi pada cara-cara menjalani perang. Para pejuang keimanan ini akan menghadirkan peperangan yang ksatria dan memberikan perlawanan yang beradab kepada lawannya. Sebab mereka yakin, bahwa kemenangan itu jika mereka mengalahkan lawan menurut aturan perang yang benar, bukan asal membantai dan membunuh.
Buntutnya kita juga mengalami kebingungan dalam definisi terorisme. Kalau yang melakukan pemaksaan kehendak dengan cara-cara kekerasan adalah sekelompok kecil orang “dengan label agama tertentu” (biasanya mengatasnamakan Islam) kita sebut sebagai teroris. Kalau tentara AS berkeliaran ke seluruh penjuru dunia membantai berbagai bangsa, kita tidak menyebut mereka sebagai teroris. Demikianlah ambiguitas pengertian kita saat ini. Pada berbagai hal kita sering tidak fair. Karena tidak fair, maka kita cenderung berat sebelah. Hal itu sangat terlihat ketika kita menyaksikan reaksi kebanyakan kita terkait langkah Kiai Yahya C. Staquf ke Israel.
Surakarta, 19 Juni 2018