Sikap politik umat Islam itu jelas, mencintai keadilan dan melawan penindasan. Maka pendidikan politik bagi umat Islam itu sebenarnya ya sesederhana itu.

Meskipun demikian, pada praktiknya, ketika umat Islam berkelompok-kelompok dalam ormas, parpol, atau apa pun wadahnya justru pilihan politiknya kadang bertolak belakang dengan prinsip dasar yang diteladankan Rasulullah.

Kita telah menyaksikan bersama bagaimana sesama umat Islam bisa saling mengkafirkan. Kita juga melihat bagaimana sesama kekuatan politik Islam bisa saling bertentangan dan masing-masing bersekutu dengan pihak lain (terkadang didefinisikan sebagai musuh Islam) untuk saling mengalahkan. Dan masih banyak lagi hal-hal kontradiktif dari prinsip Islam.

Itulah mengapa memasuki masa akhir di kampus, pandangan saya mulai bergeser dari sesuatu yang sifatnya ideologis ke pendekatan peradaban. Karena pertengkaran-pertengkaran sesama umat Islam memang berawal dari gerakan-gerakan yang bersifat ideologis. Gerakan ideologis mau tidak mau akan bermuara pada kekuasaan. Jadi sudah wajar jika antar gerakan akan berbenturan. Masalahnya adalah gerakan-gerakan ideologis di zaman now, rawan ditunggangi oleh orang-orang yang bernafsu pada harta dan kepentingan pribadinya.

Situasi hari ini, menurut saya mirip dengan kehancuran yang dialami umat Islam ketika diserang oleh Pasukan Salib dan Mongol Tartar. Saat itu situasi internal politik umat Islam sedang kacau karena masing-masing elemen kekuatan politik sibuk saling menumbangkan satu sama lain. Para ulama juga banyak yang menjadi anggota dari kubu kekuatan-kekuatan politik itu. Sehingga masyarakat terombang-ambing dalam situasi perang dan penindasan. Akibatnya ketika datang serangan dari luar, umat Islam sudah dalam keadaan lemah. Akhirnya mudah ditumbangkan.

Dalam situasi kehancuran itu, muncul para ulama tasawuf yang kembali menegakkan supremasi Islam di atas semua golongan. Mereka mendakwahkan Islam justru di saat kekuasaan asing itu tegak di dunia Islam. Mereka tidak terang-terangan mengajarkan perlawanan sengit kepada para penguasa asing. Tetapi mereka justru mendidik masyarakat untuk memperbaiki akhlak dan adabnya yang telah rusak karena perkubuan-perkubuan yang sebelumnya terjadi. Jika sebelumnya, antar pendukung madzhab sering tawuran dan saling menjilat penguasa agar madzhabnya dijadikan madzhab resmi negara, sehingga mereka bisa punya pekerjaan-pekerjaan terkait realisasi madzhab, oleh para ulama tasawuf hal itu diluruskan kembali. Penyakit cinta duniawi diterapi oleh para ulama di masa keruntuhan itu.

Perlahan-lahan umat Islam bangkit, mereka membangun kedaulatan ilmu dan ekonominya kembali. Sampai akhirnya Allah benar-benar membangkitkan seorang yang terkuat di antara para ksatria di zamannya, Shalahuddin al Ayyubi. Di tangannya, kekuatan-kekuatan politik umat Islam berhasil disatukan untuk kembali merebut Yerusalem dan menegakkan marwah kekuasan Islam. Apakah saat itu umat Islam sudah benar-benar bersatu? belum. Kekuatan Islam di Andalusia, di Maghrib, di Yaman, di Pedalaman Arabia, di Persia dan India. Masing-masing sangat berpotensi untuk berbenturan dan menyerang ke jantung kekuasaan umat Islam, Haramain dan Yerusalem. Namun hal itu dapat dicegah berkat kerja-kerja besar para ulama.

Para ulama berhasil menegakkan kembali supremasi Islam. Mereka berhasil menarik umat dari perkubuan-perkubuan karena kepentingan politik, madzhab, dan berbagai hal yang berpotensi untuk disetir pihak luar sehingga menggerogoti Islam dari dalam. Hari ini hal itu terulang dengan tantangan yang lebih besar. Godaan uang, kekuasaan, kepentingan, dan berbagai hal yang sifatnya materi selalu membayangi umat Islam. Bukankah pertengkaran antar ormas Islam, parpol Islam, dan golongan-golongan yang mengatasnamakan Islam lebih banyak disebabkan karena urusan-urusan kepentingan duniawi itu kan?

Umat Islam di akar rumput sebenarnya tidak ada urusan dengan kepentingan para elitnya. Mereka hari ini sudah berat menghadapi penindasan berupa pemiskinan secara sistematis baik oleh para kapitalis maupun pemerintahnya sendiri. Sehingga terkadang ada yang terjebak untuk berkubu ke sana sini karena ketidaktahuannya dan juga biasanya terpaksa demi mendapatkan kemudahan materi. Di tengah kondisi yang seperti itu, sebenarnya umat Islam justru bisa disatukan kembali untuk menjadi satu umat yang besar dan kuat. Tinggal elit-elitnya hari ini apakah masih mau memikirkan umatnya atau malah sibuk mengejar ambisinya dengan memperalat umat sembari mendengung-dengungkan jargon-jargon persatuan umat Islam. Iya, persatuan umat versinya.

Kita pasti merindukan hadirnya kembali Imam al Ghazaly, Syaikh Abdul Qadir al Jilany, Maulana Jalaluddin Rumi, Ibnu Athailah, Nasruddin Hoja, dan masih banyak lagi ulama-ulama tasawuf yang berhasil menegakkan supremasi Islam kala itu. Kebangkitan kekuasaan Shalahuddin al Ayyubi adalah hadiah besar dari Allah bagi umat Islam. Shalahuddin adalah sultan yang rendah hati, meskipun kekuasaannya paling besar di zamannya ia tetap mengatakan bahwa dirinya hanyalah seorang panglima yang berkhidmat untuk khalifah Abbasiyah yang saat itu bahkan tidak punya kekuatan apa-apa untuk sekedar menegakkan sebuah negara. Shalahuddin hidup dalam kesederhanaan sampai wafatnya, tidak silau dengan pencapaiannya, apalagi membangun kemegahan istana. Tidak ada yang meragukan kesederhanaan hidupnya.

Bagaimana dengan kehidupan para elit umat Islam hari ini? Ya para politisinya ya para ulamanya. Apakah mereka sudah benar-benar mencontoh perilaku Nabinya?

Gondangsari, 2 Desember 2017

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.