Mayoritas negara di dunia, sistem kenegaraannya pasti menggunakan pendekatan majelis tinggi dan majelis rendah, tidak peduli negara monarki, republik, atau lainnya. Secara fungsional, keduanya merepresentasikan keberadaan negara dan pemerintah sebagai dua hal yang seharusnya berbeda.
Sejak saya mencoba membuka-buka referensi tentang hal itu, saya memang melihat problem serius soal sistem itu di negeri kita. Anehnya, dengan kekacauan dan kerancuan sistem yang parah, ditambah keragaman yang luar biasa, dan korupsi di segala lapisan kok negara ini tetap berdiri. Pasti ada faktor X yang harusnya disadari bangsa ini bahwa sebenarnya kita punya mekanisme bayangan yang ampuh.
Secara nalar, dengan penyimpangan pelaksanaan Pancasila yang begitu parah sejak Orde Baru yang makin melenceng ketika amandemen UUD 1945 seharusnya ada protes keras dari rakyat. Tapi nyatanya ya tidak. Mau pemerintah bertingkah kayak apa pun, rakyat negeri ini sepertinya khusyu’ menikmati jalan hidupnya sendiri-sendiri. Ada semacam kesadaran transedental yang masih banyak dipegang bangsa ini soal kepemimpinan dan kekuasaan, sehingga negara dan pemerintah tidak lebih sekedar patut-patut saja karena bangsa lain punya pemerintah maka ya kita bikinlah meskipun kayak gini.
Dari fenomena itu, saya sangat kagum melihat negeri ini. Kagum dengan segala rahasia yang disimpan di dalam khazanahnya. Saya pernah tinggal sebulan di Eropa yang masyarakatnya hidup dalam jaminan pemerintahnya yang bertanggung jawab dan ritme kehidupan yang monoton. Saya menikmati kenyamanannya. Tapi mungkin kalau saya tinggal lebih dari setahun di sana, mungkin akan segera bosan dan rindu berat dengan makanan-makanan khas tanah leluhur, canda tawa yang bebas, dan suara azan yang selalu mendayu setiap hari.
Semakin hari, saya tidak terlalu pusing lagi dengan urusan pemerintah. Sistem bayangan yang ada sebenarnya tinggal diikuti dan mulai berproses dengan sungguh-sungguh saja. Pemerintah yang seperti sekarang ini, tidak perlu diapa-apakan lagi, nanti runtuh sendiri. Yang penting kita siapkan posisi kuda-kuda terkuat seperti yang dicontohkan generasi 1945 ketika Belanda dan Jepang runtuh akibat menguatnya dominasi AS. Sejak itu AS mencoba mendominasi negeri ini dan berhasil ditandai jatuhnya Bung Karno. Kini pemerintahan yang entah disembah atau dicaci sedang dalam kebimbangan jalannya.
Saya pribadi masih memberi asa kepada orang-orang baik di dalamnya yang terus menjalankan pengabdian dan mengutuk para petualang yang sedang beradu keras merebut dominasi, apakah tetap menjadi bagian dari AS atau pindah ke Tiongkok atau berbagi jatah, walau tidak ada urusan sebenarnya apakah AS atau Tiongkok bermusuhan karena keduanya sebenarnya cuma dua sisi mata uang dari sang penyuplai uang.
Namun demikian, ada satu celah yang berpotensi menghancurkan sistem bayangan yang sudah menjaga kita selama ini jika kita salah memakainya, yaitu media sosial. Sejak awal, media sosial diniatkan para pendirinya untuk memudahkan komunikasi dan tentu saja mereka memanfaatkan data yang masuk cuma-cuma dari kita untuk dijual ke pihak ketiga. Tapi ternyata ia bisa digunakan juga untuk memprovokasi permusuhan dan konflik internal. Jika potensi buruk ini tidak kita waspadai, bukan tidak mungkin sistem bayangan penjaga kita akan ambyar.
Sejak meninggalkan kampus dan menjaga jarak dari dunia pergerakan, kemudian lebih banyak keluyuran tengah malam banyak cara pandang yang harus direvisi. Nyata terlihat bahwa ada hal yang tidak menyatu, bahkan kita direnggangkan oleh mekanisme kapitalis hari ini. Ada dua dunia yang hari ini tak bertemu. Saya memilih dunia yang damai ini, dunianya jutaan penduduk negeri yang mungkin tidak terlalu penting menyebut namanya, karena toh mereka lebih sibuk menyayangi tanah airnya sebagai karunia Allah yan harus dijaga, dipertahankan, dan kelak diwariskan. Bersama mereka saya berdiri, walau ternyata hanya mampu jadi tukang keruk rumput saja.
Juwiring, 26 Oktober 2017