Pentingnya membedakan negara dan pemerintah agar kita mengerti wilayah filosofis dan mana wilayah praktis, tidak campur aduk tidak karuan. Fungsi negara itu pada tataran filosofis, fungsi pemerintah pada tataran praktis.
Di majelis negara, dirumuskan filosofi bernegara dan hal-hal yang berlaku permanen yang tidak dapat diganggu oleh politik praktis. Di wilayah politik praktis, silahkan berkompetisi untuk meraih dukungan publik agar dapat melaksanakan strategi pemerintahannya.
Makanya dukcapil, pendidikan, kesehatan, pertahanan dan ketertiban, serta kebudayaan itu seharusnya dalam tanggung jawab negara. Mau bupatinya ganti, presidennya ganti, menterinya ganti urusan-urusan di atas tidak boleh dirubah seenak udele dhewe. Pelaksananya adalah pegawai negara, yang tidak punya kepentingan politik praktis di manapun, maka harusnya mereka tidak boleh ikut dalam pemilu. Mereka dilindungi negara dari intervensi pemerintah.
Adapun hal-hal yang sifatnya percepatan pembangunan dan wilayah kreativitas kemasyarakatan serta layanan-layanan aspirasi publik yang bersifat jangka pendek dan pragmatis barulah diserahkan kepada pemerintahan. Mereka adalah para pegawai outsourcing yang memang digaji tinggi berdasarkan tingkat kompetisi mereka. Tapi mereka bisa diganti sewaktu-waktu jika menimbulkan problem serius kepada rakyat.
Cuma, dengan situasi yang udah acak adut seperti sekarang, mungkinkah fungsi negara ditegakkan? Sulit. Karena secara ekonomi, kita sudah dijajah oleh aturan World Bank dan IMF serta bertekuk lutut di bawah ketiak AS. Secara politik kita diperebutkan oleh hegemoni AS, China dll. Secara kebudayaan kita sudah jadi makhluk aneh karena lebih suka mengadopsi hal-hal yang asing sambil menginjak-injak leluhurnya sendiri. Situasi itu jelas membuat kita susah menemukan negarawan, yang ada ya politisi. Namanya politisi, orientasinya ya soal menang kalah. Kalaupun mereka ngomong demi tanah air, demi bangsa, ya namanya aja promosi, mosok ra mudheng.
Maka dari itu, kita sadari dulu dengan sesadar-sadarnya bahwa kita sedang tidak punya negara. Kita punya Pancasila, tapi tidak ada yang menjalankannya, karena pemerintah kita saat ini bekerja untuk para investor. Kita juga punya beberapa lembaga negara, tapi karena tidak ada negara mereka manutnya sama presiden yang sebenarnya adalah kepala pemerintahan walaupun diaku sebagai kepala negara. UUD 1945 kita pun dirubah banyak sekali sehingga menjadi UUD 2002 di masa “bapak reformasi”. Jadi mari kita nikmati, suasana negeri tanpa negara, pemerintah yang menghamba pada investor.
Semoga bangsa ini diberi jalan untuk menegakkan negaranya kembali yang dikeroposkan oleh berbagai korupsi ideologis hingga korupsi praktis di segala bidang. Hanya Allah yang bisa menolong kita.
Ngawen, 19 Maret 2017