Sejak peristiwa-peristiwa aneh 2014, saya sudah tidak terlalu mengandalkan sistem. Saya mulai belajar memercayai manusianya, bahwa setiap orang punya potensi baik dan buruk, maka interaksi kita secara manusia tetaplah menghargai hak-hak kemanusiaannya, dan interaksi secara kepentingan tetaplah memperhatikan kecenderungan yang sedang berjalan secara aktual.
Saya dulu tidak memilih Pak Jokowi, tapi saya beruntung hari ini tidak ikut menjadi pencela Pak Jokowi. Saya anyel dengan sistem pemerintahan yang berjalan saat ini, tapi tidak akan ikut-ikutan menjadi pencela personal-personal di pemerintahan. Bagi saya, sistem-sistem di negeri ini memang amburadul dan rusak parah. Tapi di dalamnya terdapat manusia-manusia yang masih berjuang memperbaiki sesuai tingkat keyakinan dan kepentingannya masing-masing.
Saya menyadari bahwa problem mendasarnya bukanlah soal negara ini di-Presiden-i siapa. Problem utamanya adalah kita secara kolektif itu gagal paham dengan penyelenggaraan negara. Jumlah kita yang banyak masih dijebak dalam perangkap pemikiran konsep-konsep modern yang membuat kita kerdil dan terutama umat Islam menempatkan Islam pada saku bajunya sendiri-sendiri. Kita tidak berani mengambil pilihan untuk meletakkan Islam sebagai prinsip hidup yang utuh. Kebanyakan kita terlalu lembek dan menyerah pada keadaan, sebagian lainnya terlalu sumbu pendek sehingga mudah marah dan melakukan gerakan yang kontraproduktif.
Hari ini kita diuji apakah memiliki keseimbangan dalam segala hal atau tidak. Keseimbangan dalam iman, keseimbangan dalam berpikir, keseimbangan dalam aktivitas fisik, dan keseimbangan-keseimbangan lainnya. Karena berbagai chaos sosial dan penyakit yang melanda umat Islam secara personal maupun kolektif sebenarnya berawal dari ketidakseimbangan-ketidakseimbangan yang terjadi akibat kelemahan dan kesumbupendekan kita masing-masing. Apa kita tidak pernah berpikir bahwa caci maki yang keluar lebih deras akan menyebabkan polusi suasana kehidupan kita sendiri. Itu sih kalau kita masih percaya dengan efek ruhani kata-kata. Kalau kita terlalu materialistik, maka hal semacam itu pasti juga diremehkan saja.
Yang menjadi pemandangan sehari-hari adalah fenomena berat sebelah di berbagai hal. Tidak usah menunjuk orang lain, diri kita sendiri masih sering berat sebelah dalam banyak hal. Dan itulah yang membuat ukhuwah itu sering terasa basa-basi. Ya karena keikhlasan itu hanya akan lahir dalam keseimbangan. Tanpa itu, omong kosong. Jadi, cobalah untuk kita membongkar berbagai sampah yang terlanjur mengerak di pikiran dan hati kita. Bisakah kita melakukan dekonstruksi dari definisi-definisi yang terlanjur menjajah kita. Agar kita kembali menemukan bahasa-bahasa sejati dari Allah yang kini terkubur oleh segala bentuk manipulasi.
Juwiring, 5 Desember 2016