Yang saya tahu, meskipun hari ini banyak kepentingan yang mencoba untuk menstrukturkan NU, tapi berdasarkan sejarahnya NU adalah organisasi paguyuban para ulama beserta umatnya. Mereka berdiri sejajar satu sama lain. Kehormatan antar ulama diiakui karena ilmu dan pengabdian, bukan karena hasil voting. Jika KH Hasyim Asy’ari diakui sebagai Rais Akbar itu karena kewibawaan dan keutamaan ilmunya, bukan karena beliau menang voting.
Nah hari ini, nuansa NU yang asli itu tetap ada. Makanya akan salah besar jika masyarakat modern menganggap saat PBNU berhasil didekati pemerintah, maka NU akan terkendali. Tidak sama sekali. Karena para kiai NU banyak yang tidak mengakui PBNU, tetapi mereka tetap berkhidmat pada NU. Yang cara berpikirnya struktural dan menganggap NU seperti organisasi-organisasi modern akan bingung melihat hal semacam ini. Padahal hal ini biasa. PBNU bukanlah apa-apa bagi para kiai, karena ada PWNU, ada PCNU, dan PRNU hingga ke bawah yang masing-masing lebih bersifat federal dibanding komando.
Guyonannya Kiai Muzammil, Indonesia tidak bisa mendikte para kiai. Jangankan Indonesia, wong PBNU saja ga bakal bisa. Kiai-kiai ini lebih besar dari PBNU dan Indonesia. Pesantren mereka sudah ada jauh sebelum PBNU dan Indonesia berdiri. Cuma, pemerintah juga tidak kurang akal untuk mengkerdilkan mereka dengan menyuap anak cucu pendiri pesantren ini lewat aliran bantuan dana dan membuat pesantren ini kehilangan kedaulatannya sehingga lama-lama jadi anteknya pemerintah. Tetapi para kiai yang masih teguh, mereka lebih besar dari Indonesia. Meminjam kata Cak Nun, Indonesia ga ana, ga patheken.
Dan lebih konyol lagi ketika anak-anak muda aktivis modernis melihat perbedaan di NU sebagai perpecahan. Apa dikira NU itu tempat untuk menyamakan pendapat seperti ormas-ormas yang isinya cuma satu komando terpusat itu? Itulah yang membuat NU tetap dinamis dan mampu bikin pusing kekuatan-kekuatan politik di Indonesia karena susah dibaca dengan cara pandang modern. Jika Muhammadiyah mau kembali ke zaman KH Ahmad Dahlan dengan membubarkan majelis Tarjihnya dan melakukan konsolidasi dengan NU untuk berperan di bidang sosialnya, niscaya negeri ini akan kembali bisa dipulihkan, ya kedaulatannya ya persatuan umat Islam-nya. Muhammadiyah akan punya ruang gerak yang lebih leluasa karena berbagi peran dengan NU dan tidak akan ada lagi rivalitas rebutan umat sebagai pengikut mereka, wong sama-sama sebagai umat Islam.
Juwiring, 2 Desember 2016