Peristiwa G30S/PKI mulai disangsikan bahwa itu ulah PKI. Jika dianalisis dari keputusan Bung Karno pada bulan Agustus yang menerbitkan UU tidak bolehnya asing melakukan turut campur sama sekali pada urusan ekonomi Indonesia, setelah waktu-waktu sebelumnya beliau menggiring Indonesia keluar dari PBB dan IMF sambil teriak “go to hell with your aid”, maka akan lebih masuk akal bahwa itu adalah tindakan makar para pengkhianat bangsa dari kubu kapitalis dengan cara “sekali mendayung tiga pulau terlampaui.”
Indikasinya terlihat ketika orde baru berkuasa, maka pihak-pihak yang menikmati hasil tumbangnya orde lama ada para kapitalis asing-aseng dan para pengkhianat bangsa dalam baju militer. Yang dibunuh adalah para jenderal besar yang tidak diragukan kesetiaannya pada kedaulatan negara. Yang dituduh membunuh adalah PKI, yang sebelumnya dikenal sebagai organisasi brutal dalam praktiknya meskipun dalam proporsi tertentu sebenarnya memberi keresahan kepada para kapitalis. Yang distir adalah umat Islam agar bergerak menyembelih pihak-pihak yang dituduh secara sistematis setelah sebelumnya kiai-kiai mereka diculiki orang-orang PKI. Tiga lawan disikat sekaligus dalam satu momentum.
Para kapitalis dan pengkhianat bangsa ini tinggal senyum menunggu hasil akhir dengan menumbangkan sang Penyambung Lidah Rakyat dan menjebak seorang Jawa agar menjadi Raja baru dengan pemerintahannya yang bertangan besi. Sang Raja Jawa ini menyerahkan urusan pengelolaan ekonomi kembali kepada para pengkhianat bangsa hingga muncul istilah “Indonesia dibagi-bagikan laksana kue dalam 3 hari” di Jenewa. Alasannya sederhana, kalau menunggu berdikari, rakyat miskin terus-terusan, maka perlu investasi asing besar-besaran agar pembangunan cepat berjalan. Dan tahu sendiri bagaimana sikap sang Raja pada umat Islam selama 20 tahun masa awal pemerintahannya.
Akhirnya sang Raja Jawa ini pun menyadari kesalahannya. Ia terlanjur membesarkan buta ijo dan memberi akses tentara yang dahulu didirikan oleh rakyat dan ulama. Di sepertiga masa kekuasaannya ia pun berusaha membangun kubu baru untuk membalas pengkhianatan para kapitalis ini. Namun, semua sudah terlambat, karena para kapitalis asing-aseng ini begitu kuat sehingga dia justru diberi hadiah dengan segala jalan menuju kejatuhannya. Dan tahun 1998, dia dibujuk oleh sang satria pembuka gerbang untuk turun dengan harapan menyamar menjadi ksatria sepuh dan membalik keadaan negeri ini dengan menyingkirkan para para pengkhianat secara konstitusional, yang dulu telah memperalatnya. Ada sebuah strategi jitu yang akan dijalankan untuk menyingkirkan habis para penghancur negeri itu. Sang Raja pun setuju.
Namun, skenario itu gagal total. Media massa dan semangat anak-anak muda yang tak paham strategi justru mengacaukan segalanya. Sang Raja Jawa itu tersingkir dengan menanggung nama buruk hingga wafatnya. Para pengkhianat-pengkhianat itu pun berpesta sejak 1998 hingga sekarang dengan memanfaatkan kebodohan masyarakat dan umat Islam yang tak pernah mau bersatu untuk mengulang keemasan Masyumi ketika dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari yang pernah berfatwa bahwa “hanya Masyumi-lah satu-satunya wadah perjuangan politik umat Islam di Indonesia”. Dan hingga hari ini, hanya sang satria pembuka gerbanglah yang masih konsisten untuk menyadarkan bangsa ini. Berkeliling ke sana kemari untuk menghadirkan kesadaran akan datangnya satria-satria baru yang akan merebut kembali warisannya setelah beratus-ratus tahun dirampok para penjahat itu.
Sayangnya, anak-anak muda sekarang justru terlalu sibuk untuk menjadi pemimpin dengan mengadopsi metode kepemimpinan dalam kerangka kapitalis itu, bukan kepemimpinan organik leluhurnya. Maka, kesabaran adalah satu-satunya modal untuk bertahan dan berproses agar tidak terjebak pada cara-cara instan seperti itu. Siapakah satria yang akan muncul dari gerbang itu? Lihat diri kita masing-masing, jangan jadi penunggu bodoh akan sosok ratu adil. Jika pun dia datang, maka kitalah bagian penting dari manifestasi ratu adil itu. Jangan menunggu hanya dengan berpangku tangan. Bergerak, bergerak, bergerak.
Juwiring, 19 November 2016