Dalam cara pandang akademik modern hari ini, kita akan banyak menemui kesulitan untuk mengenali orang-orang yang sesungguhnya berkompeten. Terlebih di Indonesia, negara yang masyarakat dan birokrasinya sangat strukturalis, administratif, dan feodal macam sekarang ini.

Segala puji bagi Allah, Imam Syafii tidak dilahirkan di zaman kenthir seperti sekarang ini. Karena jika beliau lahir di zaman sekarang, beliau harus memilih salah satu, apakah dikenal sebagai pakar ushul fikih saja, pakar syair, pakar bahasa Arab, pakar ini pakar itu, yang jelas satu saja. Kalau ingin mendapatkan gelar banyak harus kuliah ambil jurusan ini itu sampai digelari profesor.

Dan umat manusia, terlebih umat Islam saat ini tidak sadar bahwa mereka sedang dipenjara oleh asumsi dasar berpikirnya sendiri. Misalnya untuk menilai seseorang itu cerdas atau tidak, hari ini kita begitu terpaku dengan selembar sertifikat dan gelar yang disandangnya. Padahal di zaman dahulu ukuran kepakaran seseorang itu dilihatnya justru dari kiprah nyatanya dan ijazah dari guru-gurunya. Masalah seriusnya hari ini, ijazah saat ini bermakna konotatif, berupa selembar kertas tanda tamat studi.

Karena isi kepala mayoritas umat Islam dipenuhi dengan asumsi-asumsi yang serba terbalik dan dijejali opini-opini yang rusak oleh media massa maupun media sosial, bisakah kita mengenal siapa ulama yang sebenarnya? Bukankah kebanyakan kita hari ini opininya dipengaruhi oleh media massa dan media sosial. Bisakah umat Islam hari ini mengenali informasi sejarah secara komprehensif, sementara kebiasaannya cuma baca sharing di WA dan dikit-dikit ngecap orang yang berbeda pendapat dengannya?

Ini zaman di mana banyak hal dipahami terbalik dari kondisi akal sehatnya. Tetapi ketika kita gunakan akal sehat, kita yang akan disangka gila, karena kebanyakan termakan asumsi dan opini. Dan situasi yang berbahaya adalah ketika nilai-nilai Islam dipahami dengan cara yang terbalik seperti itu. Maka sudah pasti kepemimpinan dan keulamaan organik di tengah umat Islam akan sulit dibangun. Orang akan susah memercayai seseorang itu mulia dan berilmu secara alami. Karena untuk dipercaya sebagai orang mulia, dia harus bersorban dan dikit-dikit ngomong pakai bahasa Arab. Untuk dipercaya sebagai orang berilmu, dia harus memiliki banyak gelar akademik dan banyak menulis paper menurut aturan akademik yang berlaku.

Sehebat-hebatnya seorang petani yang terbukti 50 tahun setia bekerja di sawah dan menghasilkan berton-ton beras selama hidupnya, saya yakin beliau ini tidak akan pernah dicatat sebagai pahlawan pangan Indonesia. Yang akan dicatat adalah seorang politisi yang nyangkem di layar TV bilang soal kedaulatan pangan tapi konsumsi hariannya roti dan barang-barang impor, yang tidak banyak berkiprah di sawah, apalagi menjadi petani. Dan ternyata mayoritas rakyat Indonesia juga memercayai bahwa sang politisi ini lebih layak digelari pahlawan pangan dibandingkan petani yang telah 50 tahun mengabdi tadi. Nah, silahkan dikembangkan sendiri di berbagai bidang. Kita akan lihat banyak akal sehat yang hilang di zaman sekarang.

Karena akal sehat hilang, seandainya Allah menghendaki Nabi Muhammad dihidupkan lagi jasadnya dan diutus ke tengah-tengah kita, saya tidak yakin ada banyak manusia yang bisa memercayai bahwa beliau adalah Muhammad yang diutus untuk sementara waktu memantau kondisi kekinian umat yang (katanya) mengaku Islam. Atau jika Nabi Muhammad terlalu mewah, simulasinya adalah seandainya Allah hadirkan sosok manusia yang sekelas Imam al Ghazali saja, bisakah umat Islam sekarang mengenalinya? Sungguh, bila diperkenankan oleh syariat untuk bisa meminta umur yang pendek, mending saya berdoa begitu agar cepat kembali dan ketemu Kanjeng Nabi ketimbang lama-lama di tempat yang aneh semacam ini.

Ngawen, 19 November 2016

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.