Jika kita konsisten dengan ayat “innaa akromakum ‘indallahi atqaakum” maka pemimpin sejati manusia dalam pandangan Allah adalah para muttaqin, para waliyullah.
Di era Nabi hingga para khalifah sampai Ali bin Abi Thalib (termasuk di era Hassan bin Ali bin Abi Thalib), kepemimpinan manusia benar-benar dilihat dari kualitas ketaqwaannya. Sampai datangnya masa fitnah hingga akhirnya lahirlah kekaisaran-kekaisaran Islam hingga era Turki Utsmaniyah yang secara tidak langsung memecah pemahaman umat tentang hakikat kepemimpinan.
Nah, jika sejak bani Umayyah kok kita menganggap bahwa para Sultan sebagai pemimpin umat, bukan menempatkan ulama sebagai pemimpin umat, maka dengan sendirinya pemahaman kita tentang auliya’ itu akhirnya ruwet. Ditambah setelah runtuhnya Turki Utsmaniyah dan kita memasuki era negara sekular dengan demokrasi sebagai aturan mainnya, makin modarlah umat Islam menemukan kesadarannya akan pemimpin.
Dan karena konstruksi sejarah dalam cara berpikir Barat yang sekarang juga dipakai umat Islam selalu meletakkan politik di atas payung kebudayaan, ya wajar jika umat Islam lebih banyak mengenal para raja-raja Islam ketimbang ulamanya. Padahal terbukti berabad-abad lamanya, Islam tidak hilang karena lebih banyak dijaga oleh para ulama. Kalau raja Islam yang baik mah kadang-kadang saja kan.
Dan efeknya hari ini, jika umat Islam diajak diskusi, membetulkan pikiran, meluruskan langkah, hidup tirakat dan bertasawuf susah sekali. Umat Islam susah diajak untuk membangkitkan kebahagiaan dalam diri, walau situasi sedang terjepit seperti sekarang ini. Karenanya, yang laris di tengah umat Islam saat ini ya semangat kepemimpinan, karena dalam perjuangan meraih kursi kepemimpinan (yang sebenarnya kekuasaan), ada banyak yang bisa disaut dari kiri kanan. Kalau sudah berlimpah materi dan kekuasaan, barulah disebut bahwa umat Islam menang dan bisa berbahagia. Apa benar begitu?
Karena konstruksi pikiran umat sudah rapuh, ya mudah sekali dijadikan pasar dan bulan-bulanan permainan apa pun. Apalagi saat ini Islam disubordinatkan dalam bidang apa pun, mulai dari politik hingga kebudayaan. Sehingga sebuah parpol nasionalis sekuler, bisa punya sayap Islam. Bank konvensional bisa punya sayap Islam dengan label syariah. Dan masih banyak lagi sayap-sayap yang disemati label Islam.
Nah, semoga setelah pulang dari demo 411 kemarin, umat Islam makin rajin mentadabburi al Quran. Makin rajin tadabbur, semoga umat Islam tidak salah memahami makna pemimpin. Bukankah sebenarnya tidak masalah to negara ini mau demokrasi, mau kerajaan, mau presidennya baik atau jahat kalau yang dianut umat Islam adalah para ulama yang zuhud dan memberikan seluruh hidupnya untuk melayani umat. Kan tidak ada urusan mau ada NKRI atau tidak asal umat Islam di Indonesia itu tidak ngamukan, tidak kriminal, tidak korup, dan selalu meneladani para awliya’-nya.
Masalahnya, siapa sih awliya’ bangsa Indonesia saat ini? Lha itu. Pikiren ket saiki.
Juwiring, 18 November 2016