Problem penguasaan modal yang sudah semakin menggila ini tidak selalu bisa diselesaikan dengan pendekatan politik elektoral. Apalagi berhadap dengan gonta-ganti presiden. Apa artinya presiden baru, jika parlemen dan birokratnya isinya adalah orang-orang yang loyal pada para kapitalis.

Dengan maraknya penggusuran dan berbagai penindasan oleh para pemilik modal, rakyat butuh para pemimpin yang berbicara kepada mereka sebagai negara, bukan sebagai pemerintah, apalagi sebagai makelar. Dengan menyatakan diri sebagai representasi negara, maka para pemilik modal itu hanya punya dua pilihan, manut kami sebagai pemerintah yang mendapat mandat rakyat atau kalian angkat kaki dari negeri ini.

Tapi saya sadar para pemimpin kita juga tak punya nyali sebesar itu. Di samping itu, toh sebagian besar mereka memang tidak sedang berniat jadi pemimpin. Mereka ingin kursi sebab bisa mengakses sumber-sumber kekayaan secara cepat dan instan. Rakyat Indonesia yang banyak ini pun juga ribet dan lebih senang bertengkar soal Jokowi 2 Periode atau 2019 Ganti Presiden. Memang susah membangun kesepakatan di antara sesama rakyat agar kompak dalam mengawasi pelaksanaan mandat.

Rakyat Indonesia yang besar ini, lebih khawatir soal siapa presidennya nanti. Ada yang khawatir kalau Jokowi terpilih lagi. Ada yang khawatir kalau Prabowo yang jadi presiden. Tapi nyaris saya tidak benar-benar menemukan rakyat yang khawatir jangan-jangan NKRI saat ini sudah hilang. Yang ada tinggal pemerintah NKRI. Namanya pemerintah, dia ya sekadar semacam organisasi pelaksana. Tapi karena NKRI-nya sendiri sudah hilang, ya pemerintah tinggal manut kehendak para bosnya, baik para kapitalis atau justru elit-elit pemerintah itu sendiri yang jebul makelar sekaligus kapitalis juga.

Apa artinya presiden baru atau bertahan 2 periode jika negara secara de facto sudah hilang. Apa artinya perjuangan para pahlawan baik yang dulu dipenjara sebagai tahanan politik maupun gugur di medan laga untuk meraih apa yang sering kita dengungkan sebagai KEMERDEKAAN. Rakyat yang tidak khawatir negaranya hilang, mungkin perlu belajar kembali agar mengerti tujuannya mengapa dulu bapak-bapak kita mendirikan negara. Orang membangun negara itu seperti orang nikah, tidak ada yang merencanakan cerai. Tapi orang membangun pemerintahan itu seperti menunaikan aktivitas sehari-hari dalam rumah tangga. Tidak cocok satu cara, ganti cara yang lain to ya. Asal rumah tangga tetap langgeng. Lha kalau perang tagar kayak sekarang, itu kan ceritanya adu benar sendiri-sendiri kan. Kalau suami dan istri otot-ototan ingin mengikuti benarnya sendiri, apa tidak malah berbahaya dan bisa berujung perceraian.

Atau jangan-jangan bangsa yang besar ini diam-diam mulai setuju ada perceraian di antara sesama mereka. Mereka lebih senang ngeden-ngeden mendukung elit politiknya meski harus mengorbankan negara yang didirikan pendahulunya. Kalau memang itu yang dipilih, ya sudah. Yang penting kita tetap jadi manusia saja lah.

Surakarta, 4 September 2018

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.