Negara itu adalah alat yang dibuat rakyat untuk mengelola sebagian (bukan seluruh) urusannya. Maka negara adalah badan sosial yang tidak boleh bicara untung rugi terhadap rakyatnya. Karena ibaratnya suatu badan yang dibentuk, boleh-boleh saja suatu saat dibubarkan. Jika ada negara kok malah tidak bisa diatur oleh yang bikin, itu adanya di negeri kita. Entah kenapa kok bisa begitu? Saya juga tidak tahu.

Apakah di negeri lain juga seperti itu? Mungkin iya, tapi saya mending ikut slogannya pak Jokowi, bukan urusan saya. Dan lagi pula negara itu jika dikembalikan pada asal muasalnya ya sesuatu yang nilainya lebih kecil dari kemanusiaan itu sendiri kan. Entah sejak kapan kita itu mulai meletakkan negara menjadi sesuatu yang ukurannya jauh lebih besar dari diri manusia. Bahkan lebih besar dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Bahkan lebih besar dari Allah SWT. Hayo ngaku saja, saya dan Anda semua pasti pelaku kemusyrikan semacam ini, baik level ringan maupun level akut.

Makanya gerakan-gerakan melawan negara sering digelorakan di setiap zaman karena menganggap bahwa negara sering menjadi monster yang menganggu kemanusiaan. Kemanusiaan yang saya maksud tentu bukan ajaran humanisme barat yang seperti sekarang. Kemanusiaan yang saya maksud adalah ajaran fitrah dari Allah bahwa Allah menciptakan khalifah di muka bumi ini dengan gelar resmi normal sebagai manusia. Dari manusia itu semua ditugasi menjadi Abdullah. Yang kualitas manusianya menonjol bisa naik pangkat menjadi Waliyullah. Dan yang paling tinggi kedudukannya menjadi Nabiyullah. Sebagian nabiyullah, diberi mandat untuk menegakkan kehidupan yang rusak dengan risalah, maka mereka pun memiliki jabatan sebagai Rasulullah.

Jika berkaca dari para ulama ketika menghadapi para penguasa sejak dari zaman Dinasti Umayyah, mereka lebih bersikap konstruktif dari pada reaktif. Para ulama biasanya hidup dengan kemandirian mereka. Bahkan Imam Abu Hanifah selama hidupnya tidak mau berbaiat kepada salah satu khalifah pun hingga wafat. Ulama-ulama lain kebanyakan juga menegakkan dirinya di hadapan penguasa. Sehingga para penguasalah yang sering meminta restu agar kekuasaannya langgeng. Termasuk ketika Dinasti Umayyah dianggap sudah korup, para calon pengasas Dinasti Abbasiyah juga meminta dukungan para ulama untuk melancarkan revolusi pembasmian Dinasti Umayah meskipun akhirnya ada yang lolos dan membangun kekhalifahan di Andalusia. Demikianlah pasang surut penguasa di peradaban Islam. Dan selalu para ulama menjadi pembela umat ketika penguasanya zalim.

Lalu, bagaimana menghadapi zaman modern yang kebanyakan penguasanya lebih zalim dari pada zaman kekhalifahan dahulu? Ya sebenarnya prinsipnya tetap sama, menjadi manusia. Sekarang itu menjadi manusia itu bukan perkara mudah. Apalagi sekarang banyak label yang harus disandang, saking banyaknya sandangan maka status manusianya lupa. Ada label akademis, label religius, bahkan ada label akidah yang sifatnya positif dan negatif secara legal dalam payung hukum negara, organisasi, atau apa pun. Jika kita gagal menyadari kemanusiaan kita, dapat dipastikan kita menjadi sosok-sosok yang bukan manusia di zaman ini. Dan jika bukan manusia, maka tidak heran jika urusan remeh saja bisa jadi keributan, dikit-dikit kerengan, hingga berujung pada bunuh membunuh secara kejam. Ya tidak perlu heran, wong bukan manusia.

Tidak ada satu ulama pun yang membenarkan perlawanan terhadap sebuah kekuasaan negara kecuali jika ada kekuatan lebih besar yang efektif untuk menumpasnya dengan nilai korban sekecil-kecilnya. Apalagi jika penguasa dengan rakyatnya secara formal masih terikat dalam akidah yang sama. Pasti para ulama akan menolak legalisasi pemberontakan di mana pun. Contohnya di Indonesia, ketika banyak pemberontakan terhadap Presiden Soekarno yang dianggap nasionalis sekuler saja, mayoritas utama di negeri ini pun tetap menasihatkan agar tidak melawan dengan menggelari beliau Waliyul Amri ad Dharuri bi asy Syaukah (penguasa yang terpaksa/darurat diakui saja karena terlanjur punya senjata/ alat kekuasaan). Gelar itu semata-mata disematkan agar tidak banyak terjadi perang saudara. Tapi apakah lantas para ulama menjilat penguasa? Silahkan dilihat kehidupan pesantren-pesantren tradisional selama Bung Karno berkuasa sebelum akhirnya dibuldozer oleh kekuasaan Orde Baru.

Juwiring, 30 Agustus 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.