Berkaca pada dakwah Nabi Muhammad SAW, kita jumpai bahwa beliau sama sekali tidak pernah mengutak-atik urusan kekuasaan bangsa Arab secara frontal. Beliau memulai perubahan itu dari pola pikir. Tauhid yang beliau usung adalah pembenahan pola pikir yang sangat elementer. Sebagaimana zaman ini, di zaman Rasulullah juga banyak nilai kehidupan yang terbalik-balik, maka disebut kejahiliyahan. Bukan karena masyarakatnya bodoh, tetapi kejahiliyahan bangsa Arab itu terletak pada ketidakberdayaannya masyarakat untuk keluar dari kungkungan nilai nenek moyangnya yang salah.
Contoh-contoh kesalahan nilai yang berlaku di bangsa Arab kala itu antara lain: 1) merendahkan martabat perempuan, seperti mengubur hidup-hidup bayi perempuan, menikahi perempuan tanpa batas, dan menempatkannya setara dengan benda-benda kekayaan saja; 2) menganggap realitas pertuanan dan perbudakan sebagai sesuatu yang normal dan tidak menciderai rasa keadilan; 3) menganggap kebiasaan-kebiasaan buruk seperti perjudian, pesta minuman keras, dan sebagainya sebagai tradisi yang baik; 4) menyembah Allah tetapi juga menuhankan yang lain seperti berhala, perilaku makhluk hidup, undian dengan anak panah, dll serta membuat aneka aturan ibadah aneh-aneh yang bertentangan dengan apa yang sudah diajarkan Nabi Ibrahim sebagai leluhur mereka. Dan masih banyak penyimpangan nilai yang lainnya.
Ucapan Laa Ilaaha Illaallah jelas bukanlah sekedar ucapan kosong. Nabi mengajak masyarakatnya untuk melakukan Laa Ilaaha secara nyata melalui tindakan, yakni dengan menegaskan bahwa yang seperti di atas adalah salah dan harus ditinggalkan. Kemudian beliau mengajak Illaallah, untuk mengembalikan setting kebudayaan masyarakat agar kembali kepada millah leluhurnya, Nabi Ibrahim. Karena beliau adalah penyempurna ajaran para Nabi ya Illaallah-nya sekalian yang versi premium dan final sehingga ajaran Islam yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW adalah produk paripurna dari ajaran agama yang diturunkan Allah kepada manusia.
Karena yang diubah Rasulullah adalah cara berpikir masyarakatnya, tentu saja para penguasa Mekah marah besar. Kita bisa membayangkan bagaimana jika para budak menuntut kesetaraan hidup kepada para tuannya. “Okelah saya budak, tapi karena kita sama-sama manusia, saya punya hak atas pakaian, makanan, dan perlakuan yang manusiawi.” Secara tidak langsung ajaran Islam otomatis menghapus status perbudakan secara substansial. Status budak, tapi jika harus diperlakukan setara dengan manusia biasa kan berarti tidak budak lagi dong. Jika kesulitan membayangkannya, sekarang lihat saja itu demo-demo buruh yang menuntut gaji tinggi setara para manajernya di perusahaan. Tapi perbudakan zaman Rasulullah tentu konteksnya berbeda dengan era perburuhan saat ini, meskipun boleh jadi dunia industri saat ini ya perbudakan modern yang dilakukan dengan rasa ikhlas karena kebutuhan akan uang yang membara.
Sekarang mari kita melihat desa Madinah. Apa Rasulullah tinggal di sana sebagai penguasa? Allah melalui malaikat Jibril menawarkan kepada Rasulullah kedudukan sebagai Mulkan Nabiyyan, nabi yang berkedudukan raja, siap diganjar emas sebesar gunung Uhud sebagai bukti kekayaannya. Tapi ternyata Nabi Muhammad memilih menjadi Abdan Nabiyyan, nabi yang hidup sebagai rakyat jelata. Artinya kedudukan tinggi Nabi di hati masyarakat Madinah bukan karena urusan politik pemerintahannya, tetapi karena keteladanan beliau yang luar biasa sehingga para pemimpin kabilah di desa Madinah hormat dan tunduk secara kebudayaan kepada beliau. Sehingga urusan-urusan kehidupan kaumnya selalu dimintakan restu dan nasihat kepada beliau. Apa tandanya bahwa beliau bukan penguasa Madinah? Ketika salah satu anggota perjanjian Madinah berkhianat, yakni Yahudi bani Nadhir, yang memutuskan hukuman bukan Nabi Muhammad, tapi salah satu pihak yang terlibat dalam perjanjian, yakni kepala kabilah bani Auz (mohon maaf bila salah sebut).
Rasulullah di Madinah lebih dikenal sebagai sosok manusia yang dekat dengan masyarakat. Yang selalu hadir dalam shalat sebagai imam kaum muslimin dan menyerukan jihad melawan musuh Islam maupun musuh bersama Madinah. Jika mau fair dalam urusan jihad perang, jihad yang benar-benar riil antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin ya hanya perang Badr. Artinya perang Badr adalah perang pertaruhan harga diri umat Islam sebagai pribadi maupun sebagai kelompok. Saking pentingnya perang itu, Nabi berdoanya saja seperti menagih pertolongan Allah, “jika pasukan ini dihancurkan, maka Engkau tidak akan disembah selamanya”. Tapi perang-perang setelahnya jihadnya lebih bersifat personal, karena formatnya adalah koalisi Madinah melawan pihak yang kontra Madinah. Mengapa saya sebut koalisi Madinah? Karena pihak Madinah sejak perang Uhud dan setelahnya, tidak hanya diisi orang-orang mukmin, tetapi ada orang Nashrani, Yahudi, bahkan kaum Musyrikin Madinah yang mematuhi perjanjian Piagam Madinah. Karena kendali kepemimpinan tiap kabilah mayoritas dipegang oleh orang Islam, ya dapat kita katakan bahwa itu jihadnya umat Islam. Dan memang terbukti, ketika dilakukan dengan sungguh-sungguh dibawah kepemimpinan orang Islam yang benar-benar beriman, ya sering berhasil dan berbuah kemenangan.
Juwiring, 30 Agustus 2016