Demokrasi liberal yang mengajak rakyat berpartisipasi langsung memilih pembantunya selama lima tahun sekali sebenarnya baik-baik saja jika rakyat tahu akan aturan main ini.

Namun faktanya, sebagian besar rakyat tidak paham dengan hal ini dan parahnya menganggap para pembantu yang dipilih ini seperti raja mereka. Makanya terhadap bupati, walikota, gubernur, presiden dan para anggota dewan, rakyat di negeri ini menempatkan mereka layaknya raja, hingga kadang dijilati dan disembah.

Kalau saya jadi kandidat yang dipilih itu pasti senang sekali dong. Setidaknya pertarungan untuk memperebutkan kedudukan itu tidak seberat zaman raja-raja dahulu. Sekarang modalnya cuma mencitrakan diri biar terlihat baik. Bila perlu bergabung menjadi kacungnya para kapitalis sehingga sejak mencalonkan diri hingga selesai sudah dibiayai. Kalau sudah jadi, tinggal buka jalan tol untuk para bos dan sponsor di belakang layar ini.

Kalau zaman raja-raja dulu, berlaku hukum yang lebih fair dan terbuka kan. Kalau mau jadi penguasa ya harus benar-benar sakti dan teruji. Kalau mampu menaklukkan saingan, memiliki pusaka, dan bisa memikat hati rakyat maka dia akan menjadi penguasa yang lama. Kalau ada ksatria baru ingin jadi penguasa, ya dia harus lebih kuat baik secara pribadi, pasukan, dan strategi untuk mengalahkan penguasa yang sedang bertahta. Begitulah dunia kekuasaan terus bergulir seperti hukum rimba.

Keuntungan zaman yang masih fair semacam itu, rakyat tidak banyak mengalami manipulasi yang kejam. Walau sama-sama mendapat jatah akibat saja, tapi rakyat tidak akan benar-benar ditipu oleh ilusi demokrasi liberal yang aneh macam sekarang. Jaman dahulu simpel saja, kalau rajanya baik, maka rakyat akan dijamin keamanannya dan tidak diperas setor upeti. Kalau rajanya zalim rakyat ditindas dan diteror untuk setor upeti sampai nanti ada pahlawan yang mengalahkan sang raja zalim itu.

Di zaman yang mungkin dianggap kejam karena secara periodik ada peperangan antar penguasa, manusia masih sadar martabat. Mereka masih bisa memahami arti harga diri dalam hidup. Beda situasinya sejak kolonialisme bercokol di mana para raja memilih berselingkuh dengan para kolonialis. Padahal pasukan kolonial sendiri adalah utusan raja-raja di Eropa yang juga sedang berselingkuh dengan juragan kapitalis global. Maka dari itu, setiap kali ingat para anggota dewan, birokrat, maupun oknum mbelgedes di dalam tubuh pemerintahan negeri kita yang mengabdi pada kapitalis, saya kembali ingat kepada para raja dan bupati yang dulu doyan selingkuh dengan pemerintah kolonial atau VOC.

Maka dari itu, saya geli tiap kali ada anggapan bahwa monarki lebih buruk dari demokrasi. Kata siapa? Untuk kebanyakan rakyat Indonesia yang mentalitas batinnya kawula, sistem monarki lebih cocok dibandingkan sistem demokrasi. Atau sebutlah demokrasi terpimpin saja, jika agak alergi dengan monarki. Atau kalaupun demokrasi, ya mekanismenya jangan sekedar pemilu oleh rakyat. Emangnya presiden hingga bupati itu cuma memimpun manusia saja, bukankah pemeritah dimandati juga mengelola alam. Tapi bertahun-tahun kebijakannya lebih dekat dengan perusakan alam.

Mbok prasyarat jadi kandidat pemilu itu lolos uji alamiah, misalnya jadi gelandangan 5 tahun, atau lolos hidup di tengah hutan selama 1 tahun berbekal pisau. Mosok jadi panglima tertinggi angkatan bersenjata kualifikasinya di bawah para pasukan khusus yang ampuh-ampuh itu. Anehnya, para tentara itu kok ya mau-maunya dipucuki oleh mereka yang tidak pernah merasakan penderitaan dan perjuangan di hutan belantara. Kalau Jenderal Sudirman dan Bung Karno misalnya, jelas keduanya teruji dengan kiprahnya, makanya layak untuk memimpin.

Begitulah anehnya demokrasi macam sekarang. Enak bener ya jadi pemimpin di era sekarang, modal nggedebus sambil bagi-bagi sembako udah bisa bikin jutaan orang rela bertengkar di media sosial. Saya masih mencoba melihat kenyataan itu dengan akal sehat saya, tapi kok tidak paham. Seseorang yang kesaktiannya belum teruji dan kompetensi pertarungannya jauh dari kualifikasi mbah-mbah kita dulu, kok begitu diyakini bisa mengatasi persoalan bangsa yang begitu ruwet ini. Di situ dengkul saya sampai bingung. Kok bisa ya do mikir sampai begitu. Saya sampai sekarang belum ketemu nalarnya.

Setelah saya sering ragu-ragu walau tetap ikut pemilu, akhirnya saya putuskan bahwa pemilu adalah ajang dagelan paling aneh dalam rangka menjalani ujian sebagai warga negara Indonesia. Karena aslinya saya adalah warga bumi dan pemimpin saya adalah para wali dan ulama.

Ngawen, 10 Juli 2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.