Pengajaran akhlak dan adab yang baik itu akan menyelesaikan masalah-masalah fikih yang selama ini terlalu mendominasi alam berpikir umat Islam. Belakangan ini saya kadang ngekek-ngekek baca tulisan fatwa untuk pertanyaan orang-orang modern.

Misalnya, hukum mematikan handphone ketika berdering di tengah shalat? Hahaha, ngene ditakonke. Padahal jika kita sejak awal mengedepankan akhlak kepada Allah, hapene di-off-kei kaet awal, njuk sholat sak mareme ngasi rampung.

Ada lagi pertanyaan yang lebih ruwet, hukum membawa tab yang di dalamnya berisi aplikasi al Quran ke kamar mandi? Hayo piye njawabe. Tanyakanlah kepada 10 orang ustadz, jawabane mungkin beda-beda, padahal kabeh mungkin nganggo dalil. Hahaha, lapo sih, ngising we nyangking tab sing ana aplikasine al Quran barang. Jika kita punya akhlak kepada Allah, ya hapene titipke kancane, nek ora ana sing iso dititipi yo di-off-ke, njuk pasrah neng Gusti Allah, njuk digembol neng kamar mandi.

Dan umumnya, karena kita hari ini pikirannya didominasi fikih dan hampir-hampir segala hal didahulukan urusan fikihnya, kita tidak punya kesadaran akhlak atas setiap hal. Padahal jika kita banyak “berpuasa” atas setiap hal di kehidupan kita, insya Allah kita tidak akan terlalu pusing dengan berbagai polemik fikih seperti sekarang.

Jika kita memiliki kesadaran bahwa makanan itu sebaiknya yang kita produksi sendiri (sebisa-bisanya) walaupun sederhana dan seadanya, maka kita tidak akan banyak direpotkan polemik label halal yang embuh juntrungane. Karena makanan-makanan yang kita tanam dan kita proses sendiri kan jelas kita ketahui status kehalalanya, arepa ming telur dan tempe (bikinan tetangga sebelah).

Jika kita terbiasa menghindari hal-hal yang tidak kita butuhkan, terutama yang sifatnya kebutuhan tersier, pasti kita tidak akan banyak direpotkan oleh pertimbangan halal haram aneka perbuatan yang terkait dengan barang-barang tersier tersebut. Karena kehidupan yang rumit sekarang, tidak lain juga karena kerusakan cara berpikir kita yang terlalu memuja modernitas. Akhire modar dhewe, ngelu sirahe, merga kakehan polah.

Itu semua urusannya akhlak, kemampuan kita menata diri agar tidak melanggar hal-hal yang sewajarnya tidak dilakukan manusia pada fitrahnya. Dan jika itu berhasil kita lakukan sejak sekarang, mau rusak parah dunia kayak apa pun, insya Allah kita akan bisa bertahan dari gempuran Dajjal dan Ya’juj dan Ma’juj yang sekarang terus menjamah hingga ke seluruh sisi-sisi kehidupan kita.

Meski nanti akan datang masa kehancuran politik global serius, munculnya makanan-makanan yang syubhat dan tidak jelas kandungan isinya, munculnya berbagai fitnah dan tuduhan yang tidak jelas ujungnya, kita akan kebal dengan semua itu dengan izin Allah. Karena sejak awal kita telah “prihatin”, menjalani hidup “puasa” secara maknawi, bukan sekedar ngelih sehari sambil nunggu buka di warung makan.

Kita akan merasa damai, tanpa harus ikut berpolemik seperti kebanyakan orang pinter saat ini yang dikit-dikit ngomong dalil atas pertanyaan masyarakat awam yang sebenarnya butuh diajari menalar dengan baik, bukan butuh produk hukum.

Juwiring, 4 Agustus 2016

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.