Al Quran itu standar ideal dari konten, metodologi, dan konteks dari kehidupan manusia sepanjang zaman. Karena al Quran diturunkan kepada orang yang berakal, sudah pasti al Quran ya bisa ditafsirkan dong. Lha kalau yang berhak menafsirkan al Quran cuma Allah, terus untuk apa al Quran diturunkan kepada manusia?

Yang tidak boleh itu, memaksakan tafsirmu kepada pihak lain dengan cara-cara intimidatif. Itulah kenapa digelar majelis ilmu atau yang lebih enak disebut bahtsul masail, agar terjadi dialog dan sharing hasil ijtihad masing-masing. Yang namanya majelis ilmu, idealnya jangan satu orang saja yang menjadi otoritas, harusnya lebih dari satu. Dengan adanya majelis ilmu, biarkan masyarakat belajar memilih mana tafsir dan pehamaman yang terbaik untuk dipegang.

Kalau satu orang dimintai pendapat atas sebuah permasalahan, namanya majelis konsultasi, bukan majelis ilmu. Dalam majelis konsultasi, ada umat yang punya masalah. Ada orang alim yang dipandang bijaksana dalam memberi solusi. Makanya sebelum segalanya rusak oleh media sosial seperti sekarang, orang itu kalau berkonsultasi ya benar-benar cari referensi orang yang bijaksana, tidak asal yang terkenal saja. Nek sekarang, sembarang orang terkenal dimintai pendapat. Bahkan tak jarang si pengaku ulama itu menampak-nampakkan dirinya biar dikenal.

Yang mati saat ini adalah majelis ilmu yang mempertemukan berbagai ulama lintas madzhab untuk membahas dan berdebat terkait permasalahan umat, lalu disaksikan oleh umat untuk melihat ulama-ulama mana yang paling alim sehingga dia berhak untuk diikuti pendapatnya. Biarkan umat yang memilih, jangan dipatenkan dulu dengan organisasi atau ormasnya. Ormas dan organisasi harusnya ngikut kemauan umat, bukan mendikte umat dan memaksakan kebenaran mereka. Karena organisasi mematenkan si ulama sebagai yang paling benar, jadinya kalau ada pendapat yang diluar organisasi dicap salah duluan. Inilah problem pendidikan umat Islam di zaman ini, pemberhalaan madzhab dan ormas.

Karena majelis ilmunya mati, umat kehilangan metode berpikir untuk menemukan hal-hal yang penting dalam memahami permasalahan kehidupan. Selain itu, karena ulama jarang bertemu dan update ilmu dalam forum-forum yang mencerdaskan semacam yang saya sebutkan di atas, mereka pun juga mudah menyombongkan diri untuk merasa paling benar sendiri. Sehingga konsultasi umat yang sudah hilang nalar ketemu dengan para juru dakwah yang kurang wawasan. Klop, hasilnya adalah FANATISME BUTA. Orang itu kalau otaknya sudah dipenuhi fanatisme buta, kamu mau ngomong apa aja mental kalau tidak sesuai dengan seleranya. Hanya Allah yang sanggup untuk memperbaikinya lagi.

Nah, adapun jenis-jenis makhluk aneh yang suka ngomong seenak udelnya sendiri soal al Quran saat ini menjadi daya tarik publik tersendiri. Karena masyarakat juga bingung untuk menemukan ulama mereka, wong para ulama seringnya saling tuding di pengajiannya sendiri-sendiri tetapi enggan berdebat di depan publik, akhirnya orang semacam N**** W**** yang kayak gitu malah dijadikan perhatian umum. Dalam skala keilmuan, pernyataan koplak semacam itu harusnya kan tidak penting dan tidak perlu digagas. Tapi kenapa publik malah seneng, ya karena itu sensasional. Sementara kecendekiawanan para ulama cenderung tertutupi oleh aneka opini dan perdebatan yang terjadi di antara mereka.

Jika harus menunjuk, negaralah yang punya tugas untuk menyelenggarakan majelis ilmu, mempertemukan para ulama dari berbagai aliran untuk berdialog terhadap masalah-masalah kunci umat. Jika tidak mampu, ya kita mulai saja dari masjid-masjid. Jangan hanya isinya pengajian satu orang ngomong lalu dia merasa paling benar sendiri. Jangan hanya nyuruh umat untuk belajar menghargai perbedaan, itu para kiai dan ustadz itu minimal setahun dua kali bikin bahtsul masail gitu lho. Biar umat belajar dari mereka bagaimana prakteknya menghargai perbedaan pendapat. Jangan cuma ngecap ustadz Anu dan kiai Fulan sesat di pengajiannya sendiri-sendiri. Akhirnya umat Islam yang malas berpikir ikut terpancing membenci ulama yang tidak sealiran dengan guru ngajinya.

Membahas si N***** W***** itu tidak penting banget. Sudah jelas motif dia politis, artinya niat omongannya jelas. Dia sudah terlalu berani menantang Allah dengan memelintir al Quran untuk membenarkan tindakannya. Wong kayak ngono kok jik diajeni, apane jal sing aji. Mungkin kentutnya masih lebih bagus dari pada yang keluar dari mulutnya. Karena kentutnya masih sesuai sunnatullah, tapi omongannya subhanallah, ra cetha tenan.

Juwiring, 14 Oktober 2016

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.