Dalam sebuah hubungan pertemanan tentu pernah kan kita bertransaksi dengan cara yang tidak wajar menurut hukum bisnis secara umum. Misalnya kita karena saking senengnya sama teman kita dan lagi punya banyak uang kita membeli barangnya tanpa minta uang kembali. Atau saat kita menjual sesuatu kepada teman yang butuh tapi dia tidak punya uang cukup kita mau menerima pembayaran sesuai kemampuannya.

Nah, prinsip jual beli maupun pinjam meminjam dalam Islam itu ya begitu. Yang menjadi ukuran bukan harga patokannya, tapi prinsip tolong menolongnya. Karena bagi orang Islam, uang itu cuma alat pembayaran, bukan ukuran kekayaan, apalagi sumber kebahagiaan. Bisa po sekarang kayak gitu? Ulama-ulama kalau ngisi pengajian kan beraninya cuma ngomongin syurga dan neraka, pernah membahas yang beginian sampai detil dan beliau sendiri sebagai pelakunya?

Jika prinsip itu diterapkan, apalagi dengan uang-uang yang bernilai intrinsik (yang secara fisik bernilai, seperti emas dan perak, atau komoditas lain yang memang memiliki harga), kita bisa berharap umat ini akan bangkit secara ekonomi dengan sesungguh-sungguhnya. Jika tidak melalui mekanisme pembebasan semacam, ya hukum penindasan secara ekonomi akan tetap berlaku. Apalagi jika kalangan kelas menengah muslim mulai tidak serius untuk memelihara kalangan dhuafa-nya, malah memanjakan dhuafa untuk menerima sedekah tahunannya saja. Makin lama banyak pendhuafaan sistemik.

Nah, saya menulis status ini untuk membuat saya ingat agar tidak boros untuk hal-hal yang tidak berguna, sekaligus tidak pelit untuk membantu teman, termasuk untuk bersadakah ilmu dan skill.

Juwiring, 19 Oktober 2016

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.