Coba kita pikirkan, Rasulullah ketika itu galau berat lihat kondisi yang tidak sehat di lingkungannya. Ada orang kaya, tapi juga ada budak, ada pemuliaan, ada juga penindasan. Dirinya yang termasuk bagian dari keluarga elit Mekah merasa ada kejanggalan dalam hidup, namun belum menemukan kepastian jawaban atas keanehan semacam itu.
Dia tempuh laku tirakat bertahun-tahun dengan menyendiri dan mengikuti ritual ibadah fisik yang diyakininya seperti yang dilakukan nenek moyangnya, Nabi Ibrahim. Sampai akhirnya sewujud makhluk menemuinya, membawa sesuatu untuk dibaca namun dia tak sanggup membacanya. Dibacakan padanya, dia malah ketakutan. Di perjalanan pulang, ia masih melihat makhluk menakutkan itu di ufuk yang tinggi, membacakan SK langit atas pengangkatan dirinya menjadi utusan Allah.
Sebelum peristiwa itu, Muhammad dikenal sebagai sosok super baik, sesekali dijumpai kejadian menakjubkan, dan dia tidak punya catatan kriminal sedikitpun (tidak seperti Nabi Musa yang di masa mudanya pernah berbuat kriminal), tapi lihat apa yang terjadi setelah peristiwa “menyeramkan” di malam itu. Dia bercerita kepada istrinya dan orang-orang terdekatnya, mereka memercayai, bahkan sang sahabat karib, Abu Bakr percaya sepenuhnya dan seutuhnya pada apa yang dikatakannya.
Tapi begitu dia buka ke publik pesan Tuhan tersebut, apa publik langsung percaya? Apa salah satu respon publik? Jika dia memang utusan Tuhan, mengapa dia tidak bisa mendatangkan keajaiban kepada mereka atau berjalan di atas air tanpa tercebur? Padahal apa yang diungkapkan Rasulullah Muhammad adalah hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan kaumnya, hanya dengan sudut pandang yang lain dari pada sebelumnya.
Dia bercerita tentang Allah, tetapi tidak lagi konsep Allah menurut keyakinan purba bangsa Arab. Dia bercerita tentang ibadah, tetapi tidak seperti penyembahan berhala leluhurnya. Dia bercerita tentang keadilan sebagaimana sering dibahas pemuka Mekah (hingga pernah melahirkan perjanjian perlindungan hak-hak kemanusiaan) tetapi lebih luas dan mendasar. Hanya karena Muhammad “mbedani” dari umumnya dia tidak legitimate, tidak dipercaya, dan butuh waktu bertahun-tahun untuk menarik orang-orang terbaik di suku Quraisy berpikir lalu memercayai apa yang dikabarkan sang utusan Allah itu.
Respon yang menarik dari kaumnya adalah mereka menuntut agar Muhammad kalau memang benar-benar utusan Tuhan dia hendaknya memiliki ciri khas yang ajaib atau setidaknya tidak biasa seperti umumnya. Padahal kalangan intelektualnya, para penyair besar Arab sudah mengakui bahwa kata-kata yang diucapkannya (ayat al Quran) itu sudah merupakan kata-kata yang susah ditandingi. Jadi persepsi ketidakpercayaan publik pada sosok manusia biasa yang bukan pemimpin dan bukan “orang pintar” di masa itu sudah cukup mengemuka, sehingga sosok Muhammad yang meskipun dari kalangan bangsawan (tapi bukan penguasa penuh di Mekah) tidak dapat diterima pandangannya.
Bukankah situasi psikologis semacam itu yang juga sedang menghinggapi manusia hari ini. Apakah kita akan lebih memikirkan perkataan orang yang sehari-harinya jadi kuli bangunan dibandingkan dengan sosok yang pakai sorban, yang jalan sambil batuk-batuk, dan dikagumi ribuan orang dalam setiap majelisnya? Jika kuli bangunan ini ternyata adalah penerus Nabi (orang yang mewarisi ilmu kehidupan dalam kadarnya sebagai manusia biasa, yang bukan nabi), bukankah peristiwa itu hanya perulangan dari apa yang pernah terjadi pada Kanjeng Nabi dan para pendahulunya? Mari jujur, kira-kira kita lebih terbiasa mendengarkan perkataan orang-orang yang penampilan fisiknya “mewah” atau orang-orang “kecil” yang disisihkan dari kehidupan kapitalistik macam sekarang?
Kawan, bukankah hari ini kita juga sedang diselimuti kabut opini luar biasa. Sehingga kita benar-benar merasa kebingungan untuk menemukan Islam-nya Muhammad. Islam yang mengungkungi kepala kita saat ini ada Islam versi Arab Saudi, versi Yaman, versi Iran, versi Mesir, versi Suriah, versi Nusantara, versi Pakistan, bahkan ada juga Islam versi Amerika (liberal) dan versi lainnya, yang kita terjebak pada formal Islam yang dibawa para dai-dai yang mengajarkan Islam versi tersebut, lalu kita berselisih satu sama lain, saling mengklaim dan dengan itu kita langsung melanggar perintah al Quran terkait persaudaraan umat. Ada pula versi Islam yang “galak” termasuk kepada umat non-muslim sehingga bukan kerukunan hidup antar manusia yang dicapai, tetapi saling menaklukkan dengan kekuatan militer dan kekuasaan. Apa ini Islam yang dititahkan Allah melalui Nabi Muhammad?
Apakah peperangan seperti di masa Nabi masih bisa dilakukan generasi zaman ini? Yang bahkan dengan perang bisa menjadi sarana dakwah karena begitu beradabnya cara perang umat Islam. Yang tidak merusak tetumbuhan, tidak membunuh wanita dan anak-anak, tidak membunuh tokoh agama, tidak merusak tempat ibadah, tidak menganiaya musuh yang tertawan, tidak menghinakan martabat kemanusiaan dari musuh yang kalah, memberikan perlakuan terhormat kepada musuh yang menyerah. Itulah perang yang membuat Islam “menang tanpa ngasorake”, sehingga yang terpenting bukan soal menang atau kalah dalam perang, tetapi kemuliaan akhlak dari peperangan itu sehingga bahkan suasana perang pun tetap melahirkan simpati publik. Maka umat Islam berhasil menumbangkan kekuasaan Persia dan Byzantium, karena dukungan publik masyarakatnya (baik yang bersedia memeluk Islam maupun yang belum) mereka bersimpati pada ketinggian moral pasukan Islam.
Maka, alangkah menyedihkannya kita hari ini, generasi Islam yang sering terburu-buru menyimpulkan. Membuat keputusan untuk ribut pada perkara-perkara yang tidak mendasar dan substansial, sementara melalaikan hal-hal yang sesungguhnya justru paling mendasar dari ajaran Islam itu sendiri. Persatuan umat, penegakan keadilan dan memberantas riba, pembudayaan zakat dan sedekah untuk memelihara kehormatan umat Islam, hidup sederhana agar perut dan aksesori yang menempel di tubuh kita tidak banyak dibaluti barang haram dan syubhat, itu adalah hal-hal pokok dan mendasar dari Islam. Tapi sekarang kita memilih ribut berkubu-kubu dalam berbagai bendera, saling beradu argumen fikih tanpa niat yang benar, saling bersekutu untuk menghancurkan satu sama lain.
Itulah mengapa saya begitu takzim kepada salah satu guru bangsa ini, yang dengan keikhlasannya menjalani kehidupan sebagai rakyat biasa (padahal beliau mampu menjadi penguasa besar yang menyamai raja-raja Nusantara), hidup bersama kita, dengan bahasa kita, dan tetap dalam kesederhanaannya. Di tanah Nusantara ini, orang-orang seperti beliau ini sebenarnya masih banyak jumlahnya. Mereka hidup dengan menabung keikhlasan dan menangis untuk umat ini. Tapi siapa yang mau mengenal mereka, wong cara berpikir kita masih seperti masyarakat Quraisy jahiliyah. Jika dulu masyarakat Quraisy berdalih dengan menunggu utusan yang bisa berjalan di atas air, sekarang kita menunggu utusan yang punya kekuatan ajaib sehingga bisa menumpas segala kemungkaran ini secara ajaib. Karena tidak muncul-muncul, ya sekarag sementara yang dianut paling tidak yang penampilannya keren dan “punya uang/ kekuasaan”.
Imam Syafi’i, hanya gara-gara sering mengutip kata-kata Ali bin Abi Thalib, beliau dituduh Syiah. Yang menuduh Syiah bukan orang sembarangan, sang penuduh adalah seorang ulama besar, Yahya bin Ma’in. Sampai-sampai Imam Ahmad bin Hanbal tampil mendebat Yahya dan meluruskan tuduhan pada gurunya itu. Itu di zaman dahulu, zaman belum ada Fesbuk dan Youtube di mana ceramah-ceramah bisa dipotong dan diunggah dengan judul-judul fantastis. Itu zaman di mana manusia masih bisa melakukan klarifikasi dengan jalur periwayatan yang jelas, sudah terjadi perselisihan sebesar itu. Apalagi zaman ini di mana seorang ulama bisa jadikan bullying oleh serombongan pembencinya. Karena ulama saja dibegitukan, maka tidak heran jika Presiden, dan pejabat negeri ini direndahkan martabatnya secara terbuka di muka publik.
Apa yang terjadi di era Nabi Muhammad maupun sebelumnya, akan terus berulang hingga zaman ini dengan segala bentuknya, variasi sarananya, dan tingkat kerusakannya sendiri-sendiri. Kita yang tidak mampu melihat sejarah masa lalu, akan mudah diadu domba untuk kepentingan busuk semacam ini. Dan itulah kiranya, kita lebih pantas disebut sebagai perusak Islam, karena kebodohan kita yang tak mengerti keindahan Islam. Ber-Islam itu tidak sesederhana kursus cepat 24 jam.
Syahadat yang diucapkan seseorang adalah penanda bagi umat Islam yang lain agar memperlakukan dia secara lahir sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasulullah kepada mereka yang bersyahadat. Tidak ada urusan hatinya beriman atau tidak, karena itu urusannya dia dengan Allah. Dan bagi manusia yang belum bersyahadat, Rasulullah pun juga memberi contoh bagaimana kita memperlakukan mereka sebagai manusia sebaik-baiknya selama mereka memang ingin hidup damai dengan kita.
Kita masih mau menyontoh Rasulullah dan para salaf kan?
Juwiring, 26 Juli 2016