Shalat adalah salah satu rukun Islam. Sesuai dengan konsep pohon dalam kesatuan Iman, Islam, dan Ihsan, maka shalat adalah salah satu cabang utama di antara cabang-cabang dalam pohon keteguhan seseorang.
Sebagai cabang, jelas perihal shalat tidak lepas dari berbagai gejolak perbedaan. Tidak masalah, selama shalat dilandasi oleh akar dan batang iman yang kuat. Insya Allah ujungnya akan berbuah manis seperti mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar, membangun kekhusyukan hidup, dll.
Menyoal tentang shalat, kita tentu ingat dengan hadits Nabi, “shalatlah seperti kalian melihatku shalat”. Konteks hadits ini adalah ucapan beliau kepada para sahabat yang bermakmum kepada beliau. Beliau adalah pemimpin manusia, maka setelah perintah shalat lima waktu turun, beliau menjadi imam shalat berjamaah.
Jika digunakan data sejarah yang dianggap mendekati valid, perintah shalat baru turun di tahun ke 12 masa kenabian. Sementara nabi berdakwah selama 23 tahun. Artinya selama hidup, beliau melakukan shalat yang disaksikan oleh publik selama 11 tahun (hijriyah) kira-kira 19.500 kali. Berarti ibadah ini jelas sangat populer disaksikan ratusan pasang mata ketika itu.
Pertanyaannya, mengapa kok banyak terjadi perbedaan dalam pelaksanaan shalat? Padahal ibadah penting itu bukan sesuatu yang rahasia, melainkan sesuatu yang sangat populer sekali. Coba lihat hari ini di mana umat Islam terus bertengkar tidak ada habisnya untuk merasa bahwa teknis shalat yang dilaksanakannya adalah yang paling benar sendiri. Bahkan ada yang begitu bengisnya mengata-ngatai saudaranya sesat dan salah.
Jika kita pakai akal sehat dan merujuk pada hadits-hadits yang masih berhasil diketahui sampai hari ini, maka ada beberapa kemungkinan untuk menjawab kebingungan umat terkait berbagai perbedaan dalam ibadah shalat. Kemungkinan-kemungkintan tersebut di antaranya,
1. Gerakan shalat Nabi memang variatif, karena beliau sebagai manusia terkadang juga merasakan dingin, merasakan situasi psikologis yang berubah-ubah sehingga membentuk variasi gerakan-gerakan shalat meskipun secara garis besar selalu konsisten.
2. Nabi melakukan satu macam gerakan shalat, tapi informasi yang sampai ke kita sudah mengalami berbagai macam distorsi. Pertanyaannya, mungkinkan para sahabat dan tabi’in melakukan manipulasi semacam ini?
3. Interpretasi umat Islam hari ini yang tidak presisi terhadap teks-teks hadits yang masih bisa diselamatkan, sertanya adanya berbagai berbagai distorsi penyerapan informasi dari masa ke masa.
dan masih ada sekian kemungkinan yang dapat dibangun berdasarkan analisis hadits dan sejarah perjalanan umat Islam dari berbagai versi.
Nah, itu baru dalam persoalan ibadah shalat yang aturannya sangat ketat dan populer. Bagaimana dengan pelaksanaan ibadah-ibadah lainnya, terlebih yang bersifat muamalah. Mosok dikit-dikit bid’ah dan selalu dikamplengke dengan argumen “tidak dicontohkan Nabi”. Bukankah sesuatu yang tidak dicontohkan Nabi karena beliau sebagai manusia juga terikat dengan konteks keberjalanan waktu (zaman itu belum ada berbagai teknologi seperti zaman ini) juga keterikatan budaya (beliau mau tidak mau adalah manusia Arab yang berinteraksi dengan budaya Arab).
Maka lahirnya berbagai madzhab fikih itu seharusnya disyukuri karena itu pertanda di kalangan umat ada penerus Nabi yang berusaha merumuskan Islam sesuai zaman mereka sepeninggal Nabi. Mengapa di zaman ini kok do bertengkar tidak karuan. Padahal pengamalan-pengamalan hukum Islam adalah perkara cabang.
Coba sekarang simulasikan pembahasan ini pada berbagai bentuk ibadah lainnya, terlebih pada berbagai persoalan muamalah. Sembari bertanya, jangan-jangan apa yang kita kenal sebagai Islam saat ini banyak jebakannya. Mulailah bertanya, kok bisa ya kita mengaku sebagai muslim tapi saling bertengkar satu sama lain. Benarkah saya telah beriman dan mengaplikasikan keimanan ini sebagai muslim yang berbuat ihsan? Tidak usah lihat orang lain, lihat diri kita sendiri saja.
Terinspirasi dari kajian bersama Kiai Ahmad Muzammil hafidzahullahu ta’ala.
Juwiring, 20 Januari 2017