Al Quran sering mengingatkan manusia untuk membaca apa yang Allah ciptakan. Allah berikan akal agar digunakan untuk mengambil ilmu dari apa yang Dia pendarkan ke alam semesta.

Salah satunya adalah ciptaan-Nya berupa pohon yang sempurna dengan buahnya. Ia bisa menjadi perumpamaan bagi kita untuk memahami inti dien. Iman, Islam, dan Ihsan itu ibarat kesatuan sebuah pohon yang utuh.

Iman atau dalam pengertian lain disebut sebagai akidah ibarat akar yang kuat menghujam ke tanah hingga sebagian tampak menjadi batang. Dalam iman tidak ada tawar menawar, ia tersembunyi dan menjadi ukuran kekuatan “pohon” seseorang.

Islam atau dalam pengertian yang aplikatif diwujudkan dalam fikih ibarat cabang-cabang hingga daunnya. Dalam cabang terdapat beberapa potensi perbedaan. Tapi perbedaannya akan tetap baik jika berasal dari batang yang sama. Maka perwujudan Islam yang sejati tergantung dari kualitas iman-nya.

Ihsan atau dalam pengertian yang aplikatif mewujud dalam akhlak dan kekhusyukan ibarat buah dari pohon itu. Itulah mengapa jika iman dan Islam-nya benar, pasti akan berbuah akhlak yang menawan dan hidup yang khusyuk. Buah yang baik rasanya manis.

Nah, sistem pendidikan hari ini merusak imajinasi normal akal kita untuk melihat alam semesta ini. Sehingga kita menjadi terpenggal-penggal dalam memahami sesuatu. Mudah dipecah belah dan dikubu-kubukan. Ada yang menganggap bahwa pohon itu cuma akar, tidak perlu cabang dan buah. Ada yang menganggap yang penting adalah buah, tidak perlu membahas akar dan cabang. Dan berbagai variasinya.

Sehingga lahir pertanyaan-pertanyaan bodoh di zaman ini. Misalnya, bagaimana jika orang berakhlak baik tapi tidak shalat atau bagaimana itu orangnya rajin shalat tapi kok perangainya buruk. Nah, baik penanya maupun yang dikisahkan, termasuk kita adalah generasi yang terbelah-belah. Lebih parah lagi, kita suka ribut di urusan cabang sedemikian serius. Padahal cabang tanpa akar, batang, dan buah adalah bahan kayu bakar to. Atau di tangan para seniman kayu, kumpulan ranting adalah komoditas berharga tinggi. Padahal kita ditugaskan menyemai benih dan memeliharanya agar menjadi pohon yang utuh dan berbuah manis. Bukan membuat bakaran atau sekedar jualan.

Terinspirasi dari kajian bersama Kiai Ahmad Muzammil, hafidzahullahu ta’ala.

Juwiring, 20 Januari 2017

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.