Trend dan gaya dakwah Islam yang baru, yang berdatangan dari berbagai negeri di Timur Tengah saat ini memang menambah ruwet situasi masyarakat karena program dakwah para wali terjeda oleh perang sipil dan kolonialisme, serta sengaja diputus oleh para orientalis, sehingga sejarahnya belum banyak dikuak. Keruwetan lahir karena adanya superioritas trend yang datang baru-baru ini dan mengklaim lebih baik dari para wali. Para pemuda yang baru pulang dari rantau ini biasanya terlalu bersemangat.
Sayangnya di tengah situasi semacam ini, emosi lebih dikedepankan dari pada pendekatan akademik. Jadi yang diejek juga ikut emosional. Padahal, secara kasat mata saja, dakwah para wali jelas telah meng-Islam-kan Nusantara, sementara yang baru-baru kan mengonsolidasi umat saja belum mampu dan belum terbukti. Nah, saya berprasangka baik, nanti kalau sudah jenuh kemungkinan juga akan menyesuaikan diri dengan platform dakwahnya para wali.
Yang penting sekarang terus belajar dan menguak sejarah dakwah para wali, agar yang terkenal jangan cuma mitos dan legenda kesaktiannya, tapi strategi dakwahnya, sehingga dapat diduplikasi dan diadaptasi untuk zaman ini. Meskipun agak lebay, siapa tahu ormas-ormas Islam nanti bikin wadah bersama lagi secara nyata seperti Majelis Islam A’la Indonesia. Kan kalau MUI bikinannya orde baru, jadi wajar kalau kontroversial sampai sekarang, meskipun ada upaya reformasi di dalamnya.
Saya sangat rindu umat Islam guyub, tidak kerengan, apalagi bernafsu mengusai pihak lainnya. Karena terbukti nafsu kekuasaan menghancurkan bangsa ini sehingga saling berpecah belah. Yang harus diusahakan adalah kepemimpinan, dan ia lain soal dengan kekuasaan. Semoga dengan hadirnya pemimpin yang baik di tengah umat, secara berangsur-angsur hadir pula penguasa yang baik di tengah umat. Syukur si pemimpin sekaligus penguasa umat, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali bin Abi Thalib, alangkah kerennya.
Ngawn 11 Agustus 2016