Saya pernah diwejangi salah satu guru saya.
“Mbok kalian itu sebagai mahasiswa dan kaum intelektual kalau ngakses informasi jangan lagi nggathok sama berita TV, Koran, apalagi cuma media online abal-abal. Sesekali buatlah pembuktian terbalik atas informasi yang beredar tidak karuan semacam ini. Kenali kerangkanya, telisik maksud dan tujuannya, dan buatlah peta konsepnya. Lalu lakukan tindakan yang diperlukan jika informasi itu mengganggu stabilitas iman dan kedamaian.”
Kalau kita mau agak riset, misale iseng-iseng menelusuri jejak para anggota politisi hari ini kita bisa dapat info yang memadai agar kita bisa tetap mengambil sisi baik, di tengah keburaman massal wajah politik negeri kita. Misalnya saya ambil contoh beberapa politisi yang kerap jadi bullying media dan para haternya, bisa karena mereka saat ini dianggapmblunder, bisa juga gara-gara background partainya.
Fadli Zon, hari ini banyak orang muak dengannya, tapi kalau mau mundur ke beberapa tahun sebelumnya, kita akan mendapati banyak karya intelektualnya, salah satunya di bidang sejarah yang bermanfaat, khususnya bagi umat Islam. Fahri Hamzah, mantan ketum KAMMI Pusat yang pertama itu pernah membuat kicauan analisis yang berimbang berkaitan tindakan kemenpora membekukan PSSI yang berdampak pada banyak sektor dan merugikan banyak pihak secara ekonomi. Tapi karena dia dari PKS, langsung dibully habis-habisan, apalagi sejak partai itu jadi bal-balannya media. Bakrie Grup, kasus Lapindo ibarat cap jelek permanen untuk perusahaan milik politisi Golkar tersebut. Padahal dalam kerangka global, keberanian grup itu melawan dinasti Rothschild (yang sudah menjadi rahasia umum sebagai pengendali ekonomi dunia dan suka bikin manuver yang menghancurkan ekonomi suatu negara) tentu lumayan bisa jadi cerita bahwa ada yang mau bikin perhitungan dengan buto ijo, meski dengan resiko terburuk dihancurkan. Ada juga partai Merah bersungu yang sebenarnya punya banyak intelektual yang nasionalis, tapi karena emak sekarang sedang menjadi Firaunah, makanya mereka tenggelam dalam kesedihan, dan yang tidak tahan memilih keluar. Uraian ini sejauh penelusuran saya saat ini, bisa benar, bisa salah, bisa dibantah, dan saya sendiri mungkin akan mengoreksinya di waktu nanti jika menemukan analisis yang saya yakini lebih benar.
Kaum intelektual muda, mestinya belajar dari mereka yang baik-baik. Apapun labuhan gerakan dan partaimu, jangan fanatik. Kita punya tanggung jawab intelektual untuk memberi pencerahan yang informatif dan berimbang atas hal-hal yang kita jumpai. Kalau cuma sekedar jadi kaum baper, mbok wis, ga perlu kuliah, ra perlu dadi kaum intelektual. Jadi cheerleaders aja, yang bawa rafia sambil lompat-lompat.
Juwiring, 14 Maret 2016