Ini simulasi kecil. Cobalah berimajinasi seperti ini. Anda belajar ilmu-ilmu alat dasar seperti nahwu, saraf, balaghah dan macem-macem lainnya. Lalu kepala Anda dipukul hingga lupa ingatan pada pengamalan shalat dan wudhu, tetapi ilmu-ilmu alat tidak hilang. Lalu Anda membaca hadits tentang shalat dan wudhu. Dengan kemampuan akal Anda sendiri, Anda mempraktekkan shalat dan wudhu itu tanpa sama sekali melihat orang lain melakukannya. Bisa membayangkan hasilnya? Bayangkan ada 10 orang berlaku demikian, samakah hasil gerakan shalat mereka? Imajinasikan.
Makanya untuk bisa kenal sama Kanjeng Nabi, yo aja gumedhe karo awakmu dewe. Memahami al Quran dan Hadits ki ra muk kayak bukak kamus cekak aos. Ada banyak proses yang harus ditempuh. Yang diapresiasi itu prosesnya menelusuri, bukan malah mbanding-mbandingke siji lan sijine. Tidak setiap orang, apalagi sekarang bisa berkesempatan disapa Kanjeng Nabi, meski setiap shalat kita mengucapkan salam terhadap beliau. Alangkah beruntungnya orang-orang di pusaran fitnah ini disapa beliau dan diajari walau sedikit saja dari mutiara Islam yang sekarang semakin tertutupi oleh perilaku buruk umat Islam.
Itulah mengapa mempelajari ilmu itu butuh guru yang bisa menjadi contoh, bukan sekedar baca buku. Sebaiknya gurunya pun lebih dari 1 agar kita bisa melakukan komparasi. Dari keteladanan mereka, lalu kita memutuskan apa yang baik sesuai yang kita yakini. Inilah proses kita memahami, bukan sak klek pokoke iki sing paling bener, liyane salah, sesat, mlebu neraka. Lha kalau tidak mau baca buku, lalu tidak mau berguru? Nah, itu nganunya kita sekarang, para santri Pesbuker.
Juwiring, 3 Januari 2016