Ketika membaca kisah-kisah kolosal, tentang peperangan baik dalam legenda, epik, maupun sejarah peradaban, ada hal yang menarik yakni tentang pilih tanding. Orang zaman dahulu itu bisa mengukur kalibernya sendiri dan orang lain. Sehingga peperangan itu bukan sekedar soal menang atau kalah, tapi ada ukuran kepatutan yang harus dijaga di mana seseorang tidak akan mau bertanding pada yang bukan lawan seimbangnya.
Di zaman Islam permulaan, sebelum perang kolosal terjadi biasanya ada adu tanding para jagoan dari kaum muslimin dan orang-orang kafir. Dan di titik ini kualitas ke-Islam-an generasi awal terlihat di mana mereka tidak saja memilih lawan dalam berperang, tetapi juga memperlakukan tawanan mereka dengan lebih baik dari lazimnya tawanan. Padahal waktu itu bangsa Arab dikenal sebagai kaum nomaden yang dianggap tidak tahu aturan peradaban besar seperti Romawi, Persia dll. Tuntunan Islam-lah yang membentuk bangsa Arab kala itu menjadi sangat beradab.
Hari ini, kisah tentang heroisme dan keandalan pilih tanding tinggal menjadi cerita. Mengapa? Karena hari ini kepengecutan lebih mendarah daging di semua peradaban. Tidak peduli muslim atau bukan muslim, kebanyakan hanyalah para pengecut yang sukanya gelut di medsos dan sukanya keroyokan. Tidak lagi pilih tanding dalam keindahan berdebat/ berperang. Mengapa? Karena kebanyakan kita sekarang tidak tahu kalibernya sendiri, apalagi mengenali kaliber orang lain. Di zaman sekarang akan sering terjadi kekonyolan di mana sekelas tokoh besar, bisa saja meladeni debat orang dengan hal-hal yang remeh temeh yang sebenarnya bukan bagian dari pokok masalah dan kalibernya.
Hilangnya konsep kaliber dan standar kemanusiaan ini akhirnya membuat kita bingung menentukan ukuran benar salah, baik buruk, dan keindahan hidup. Makanya tidak perlu heran jika “orang mati setelah minum kopi” bisa menjadi berita nasional. Ini kan membingungkan? Sing pekok wartawane, stasiun TV-ne, pemerintahe, apa pemirsane. Ahahaha. Yang paling parah, hilangnya konsep kaliber ini membuat umat Islam itu ribut satu sama lain. Iya ribut dengan sesama umat Islam itu menjadi hal yang menarik.
Akhirnya saya senang sekali karena hari ini masih banyak orang yang seperti Sujiwo Tejo yang selalu berkata Tuhan Maha Guyon. Hahaha, Allah memang selalu mengajak kita bercanda dengan berbagai hal di kehidupan ini. Sayangnya ada yang justru serius dengan canda-Nya itu. Di saat kita diperintahkan untuk taat, justru kita kerap bercanda tidak karuan. Buktinya guyonannya umat Islam sekarang adalah ada yang menjadikan agama jadi komoditas. Guyonan ra mutu.
Juwiring, 17 Februari 2016