Kalau sudah jadi anggota DPRD/DPR, pas reses ke daerahnya kok rakyat yang disuruh datang dan bukan dia yang datang ke rumah-rumah konstituen/rakyat yang diwakilinya secara rendah hati, maka tahulah kita bahwa kedaulatan di tangan rakyat adalah wacana. Mosok kita yang jadi bos disuruh sowan ke posko anak buah kita.
Kalau sudah jadi anggota DPRD/DPR kok malah rajin main ke kantor pemerintah, padahal wakil rakyat punya wewenang memanggil dan mengevaluasi pemerintah, maka anak buah kita ini memang tidak sedang mewakili kita, tapi lebih suka ngamen. Karena secara moral anak buah kita kan lebih tinggi kedudukannya dari pada para abdi (pegawai pemerintahan) kita, lha kok malah mereka yang suka dolan ke kantor-kantor pemerintah, kadang ngutus orang bayarannya.
Di negeri antah berantah ini, anehnya justru abdi negara dan pimpinannya malah lebih terkenal dan ditakuti para wakil rakyat. Dan wakil rakyatnya tidak rendah hati kepada rakyat yang diwakilinya. Tapi kok kita tetap bilang ini negara demokrasi, kedaulatannya ada di tangan rakyat. Mbok ya sudah, kalau memang kenyataannya tidak seperti yang seharusnya ya kita ganti nama saja menjadi negara feodal berkamuflase demokrasi, kan enak.
Jujur itu tahap awal sebelum memulai penegakan keadilan. Kalau jujur aja belum mau, lha apa yang mau diperbaiki, wong semuanya sudah terlihat baik.
Ngawen, 20 Juni 2016