Ini zaman di mana hal-hal privat dijadikan olok-olok publik dan hal-hal yang menyangkut kepentingan publik diabaikan baik dengan sengaja atau entah karena terlalu sibuk menguliti hal-hal privat orang lain.
Hal itulah yang membuat para selebritis menjadi terkenal. Padahal apa pentingnya mengekspos dan mengikuti kehidupan personal mereka. Mosok busana hingga kawin-cerainya bisa jadi konsumsi publik. Bahkan urusan pengamalan agamanya yang berpindah dari “mbeling” ke “ng-Islam” atau entah bagaimana menjadi begitu menarik dibahas.
Lebih sempit lagi, kita juga begitu senang ngrasani orang-orang soal apakah orang itu shalatnya rajin atau tidak? Dia berjenggot apa tidak? Dia celananya cingkrang atau tidak? Dahinya hitam atau tidak? KTP-nya Islam atau tidak? Dan berbagai hal privat semacam itu begitu senangnya kita ghibah. Padahal itu urusannya sendiri atau setidak-tidaknya perkara itu biarlah menjadi aibnya dan orang-orang terdekatnya saja.
Sementara urusan-urusan publik tentang kerusakan lingkungan, sampah, korupsi, narkoba, minuman keras, kemiskinan, hingga kepemimpinan tidak menjadi perhatian secara intensif. Saking konyolnya kita mengorek hal-hal privat, ketika berlangsung kampanye politik, isu-isu privat pun juga menjadi kampanye hitam. Makanya caci maki terhadap tokoh-tokoh publik sekarang juga tidak jauh-jauh amat dari ejekan rasis, keanehan fisik, pelecehan martabat, hingga sama sekali tidak menyentuh pada hal-hal substansial yang seharusnya dikritik.
Mengkritik pada hal-hal yang substansial itu perlu belajar. Perlu mencari informasi banyak. Perlu data. Perlu melakukan analisis. Perlu menyajikan pendapat. Itu pun harus siap diadu dengan pendapat lain yang juga memiliki basis datanya. Yang beginian, terlalu susah untuk dikerjakan. Paling gampang ya ejek, cela, hingga rendahkan martabat sesukanya. Maka tidak heran jika semakin ke sini, urusan politik yang seharusnya menjadi bagian penting dari proses pelipatgandaan kebaikan (demikian menurut istilah salah satu guru saya) menjadi tidak menarik lagi. Ya sebab yang sekarang terjadi memang bukan peristiwa politik, tapi peristiwa embuh awur-awuran yang dilabeli sebagai peristiwa politik.
Jadi, sebaiknya jangan terlalu menumpahkan kesalahan semata-mata kepada elit-elit penguasa. Perilaku mereka ya kebanyakan begitu sejak zaman Ken Arok atau entah sejak zaman embuh. Justru kualitas kehidupan kita secara kolektif ini juga perlu dievaluasi. Bukankah kita sekarang sedang mengalami jebakan ultra-ghibah yang sedemikian akut. Sampai-sampai energi kita hanya tersalurkan untuk persoalan-persoalan konyol dan bukan pada jalur penyelesaian masalah yang sesungguhnya.
Minimal kita mulai cicil dari perilaku kita dalam bermuamalah, baik dengan sesama manusia maupun dengan lingkungan. Kalau mau buang sampah, pikir-pikir dulu dampaknya. Kalau bikin transaksi jual beli dan hutang piutang, jangan suka ngapusi. Kalau punya kelebihan uang, jangan sungkan memberi pada mereka yang sudah sepuh-sepuh dan terbuang di tepi-tepi jalan itu. Dan masih banyak hal yang bisa kita lakukan sekarang untuk memastikan bahwa kita menggunakan ruang publik untuk urusan publik. Bukan menjadikan ruang publik untuk ngrasani urusan personal yang ujung-ujungnya membawa keburukan.
Khususnya umat Islam, akan diapresiasi oleh masyarakat luas karena kepribadiannya. Shalat dan berbagai ritual personalnya di hadapan Allah adalah urusannya sendiri-sendiri. Jadi jangan membanggakan ibadah-ibadah personal semacam itu di depan manusia lain. Lakukan saja sebaik mungkin. Manusia di sekitar kita butuh laku sosial kita yang berkualitas. Sehingga kita menjadi bukti bahwa laku ibadah personal seseorang bisa bermanfaat dalam laku ibadah sosialnya.
Surakarta, 25 April 2018