Nah bagaimana riba mulai hidup kembali setelah berhasil diberangus oleh Rasulullah dan para sahabat? Di masa tegaknya kekuasaan Islam, baik saat dipimpin raja yang adil maupun raja yang zalim, riba tidak dapat berkembang karena penjaga umat secara ilmu ada pada para ulama, bukan pada penguasa. Penguasa hanya menjadi representasi fisik kekuasaan Islam untuk melindungi teritorial dan harga diri umat Islam secara fisik. Tetapi secara ilmu, keyakinan umat Islam terus bertahan karena umat masih berkiblat pada ulama dan kaderisasi ulama tidak pernah putus, meskipun tak jarang antar ulama saling berseteru dengan berbagai perbedaan pendapat. Semakin jauh dari zaman Nabi, semakin meruncing perbedaannya.
Syaikh Imran, selain berbicara soal riba, beliau juga menyandingkan hadirnya riba dengan kemunculan Dajjal. Beliau berpendapat bahwa Dajjal sudah dilepas sejak Rasulullah memulai dakwahnya. Pengaruh Dajjal menurut beliau mulai hadir ketika fitnah pertama yang menyebabkan umat Islam terbelah dalam dua kubu setelah peristiwa pembunuhan tragis khalifah Utsman bin Affan. Perkubuan itu sampai melahirkan perang saudara yang paling memilukan dalam sejarah umat Islam, yakni Perang Siffin antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Padahal sebelumnya, pasukan Ali harus menghadapi kubu Aisyah dan dua sahabat Nabi lain yang merasa tidak puas dengan pengangkatan Ali sebagai khalifah pengganti Utsman.
Permusuhan kubu Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah ini menjadi pertanda bagaimana masa-masa selanjutnya umat Islam selalu dilanda perang saudara dengan pola yang sama. Para sahabat utama Nabi banyak yang memilih tidak terlibat dalam perselisihan kedua kubu itu. Permusuhan semacam itu melahirkan dua kelompok fanatik dan satu kelompok ekstrimis. Kelompok yang fanatik pada Ali, perlahan menjelma menjadi aliran Syiah yang dikemudian hari menjadi banyak derivatnya. Kelompok yang fanatik pada Muawiyah kemudian membangun dinasti Umayyah yang kemudian berakhir setelah Bani Abbasiyah membabat bani Umayyah melalui sebuah revolusi dari Timur yang waktu itu mendapat dukungan dari banyak ulama. Dan kelompok ekstrimisnya adalah khawarij yang anti kedua belah pihak dan mudah menghalalkan pertumpahan darah yang generasinya tumbuh subur hingga zaman ini. Meski demikan, sebagian besar umat Islam memilih netral berkat bimbingan para sahabat yang tidak terlibat konflik tadi dan tumbuh menjadi masyarakat yang berbaiat kepada para pemimpin dan berjihad mengikuti pengajaran para ulama.
Setelah bani Umayyah, perguliran kekuasaan terjadi silih berganti. Polanya selalu sama, umat Islam selalu mengalami pembelahan dan lahir satu jenis golongan ekstremis. Namun setiap zaman itu pasti ada juga generasi mujaddid yang memersatukan umat Islam kembali. Seperti zamannya Imam Ahmad bin Hanbal yang rela disiksa asal umat Islam tidak terbelah menjadi kubu pro khalifah Abbasiyah vs pro Imam Ahmad. Demikian pula di zaman Imam al Ghozali, ketika perdebatan antara ahli ilmu fikih dan ilmu kalam terus meruncing, Imam al Ghozali mengajak umat Islam untuk mengembalikan ruh jihad yang hilang demi merebut Palestina yang dikuasai bangsa Eropa di perang Salib I. Seabad kemudian, lahirlah generasi Shalahuddin al Ayyubi yang menjadi permata kebangkitan kekuasaan Islam.
Di masa kekuasaan Islam ini, Dajjal belum bisa berbuat banyak, kecuali memecah belah umat Islam dengan berbagai caranya. Dajjal itu apa? Definisinya pasti sangat debatable, tapi saya memilih dengan pendekatannya Emha Ainun Nadjib bahwa Dajjal adalah semacam software pemikiran buruk yang merasuki manusia-manusia yang tidak memiliki kendali ruhani yang baik. Sehingga menurut saya, pengaruh Dajjal sifatnya psikologis pada diri manusia. Dan ketika manusia Dajjali ini mendapat kesempatan merusak dunia, maka dia kelak menguasai banyak manusia dan membodohkannya, sehingga manusia akan memilih syurga yang ditawarkannya dan menolak neraka yang sebenarnya adalah kehidupan yang lurus.
(bersambung)
Juwiring, 6 Oktober 2016