Inspirasi cerita ini berawal dari diskusi Ilmiah yang diselenggarakan Komunitas Kultura dan PSPI yang menghadirkan dua panelis keren, seorang Arsitek idealis, mas Andika Saputra dan penelitik Kebudayaan Islam, pak Arif Wibowo dengan tema Hilangnya Wajah Islam di Ruang Publik.

Salah satu peserta bertanya, di Bandung ada sebuah gedung yang dibangun untuk umat Islam namanya Abdurrahman bin Auf, tapi kok sepi dan akhirnya sekarang mangkrak. Di banyak tempat umat Islam bikin usaha bisnis terkadang juga kalah saingan dengan mall dan pusat perbelanjaan “sekuler”. Bagaimana caranya membangkitkan ekonomi umat seperti di Madinah, ketika umat Islam bisa membuat pasar Yahudi mati.

Jawaban yang bikin saya tertawa dari Pak Arif adalah “mas, kalau Anda melawan kapitalisme sekuler dengan membangun sistem kapitalisme syariah, ya pasti kalah. Wong kalah modal dan kalah pengalaman. Tolong pahami bahwa membangun pasar itu bukan urusan jual beli dan dapat untung berapa, tapi para sahabat di Madinah itu membangun pasar dengan filosofi yang bertolak belakang dari pasar Yahudi. Kalau sistem pasarnya tidak ada perubahan, sekedar kamu labeli dengan kata “syariah” ya seperti kata Emha, sama aja kamu jualan barang bagus di pasarnya Yahudi.” Kami tertawa mendengar jawaban itu. Gerrrrr

Beliau melanjutkan, solusinya adalah kita memang harus membabat kapitalisme itu dari akar-akarnya. Kapitalisme saat ini meracuni pikiran masyarakat sehingga tidak mampu berpikir rasional. Misalnya, masyarakat kan seharusnya belajar detil soal kebutuhan makannya, kebutuhan barang-barang hidupnya sehari-hari, dan kebutuhan sosialnya secara wajar. Tapi saat ini kan masyarakat ditipu oleh brand alias merk secara mentah-mentah. Mereka membeli apa yang tidak merekah butuhkan, mereka hanya menuruti gaya hidup yang tak ada habisnya. Jika masyarakat mulai menggunakan akalnya dengan benar, maka permintaan pasar itu akan menjadi wajar, karena masyarakat hanya akan berjual beli dengan barang-barang yang dibutuhkan saja. Ga perlu diapa-apain, kapitalisme akan runtuh sendiri nanti.

Selanjutnya, dalam berjualan hendaknya ya meniru akhlaknya Nabi. Dalam jual beli yang diutamakan adalah kejujuran, baik fakta barang yang dijual maupun prosesnya. Kalau orang mau membeli ya mendatangi dan memeriksa barang yang akan dibeli dahulu sampai memiliki kepastian untuk membeli. Yang berjualan juga harus memastikan bahwa apa yang ditawarkannya sesuai dengan keadaan barangnya, tidak melebih-lebihkannya. Nah, ini kan sangat bertentangan dengan strategi bisnis zaman sekarang yang kalau bisa menipu dan mengelabui demi meraup untung yang sebesar-besarnya.

Nah menurut saya, itulah pasar Yahudi Yastrib yang sebenarnya sekarang menjadi sistem pasar internasional yang kita amalkan secara berjamaah saat ini. Sistem ekonomi yang melingkupi kita saat ini prinsip dasarnya dan teori-teorinya ya pasti soal bagaimana menekankan untung yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya, tidak terlalu peduli pada prosesnya. Nah lumayan, kita kan mengaku bersyahadat dan berjuang di jalan Allah, sambil terus beriman dan menjalankan sistem ekonomi ribawi secara kaffah. Sip tenan to. Kok kita rasanya seperti kambing yang berpakaian necis sambil teriak-teriak, “saya manusia, saya manusia”.

Menurut saya, jika pasar yang dibangun mengutamakan kejujuran dan rasa saling percaya, maka itulah Pasar Abdurrahman bin Auf yang dahulu pernah ada. Pasar-pasar yang dibangun atas nilai-nilai ini, pasti bentuknya pasar-pasar lokal dan tradisional. Karena yang memungkinkan pembeli dan penjual dapat bertransaksi secara langsung dan melakukan supervisi ya jenis pasar seperti ini. Selain pasar tradisional, industri yang terbangun pasti juga industri kecil. Kalaupun ada industri besar, pasti skala produksinya akan terdistribusi merata di setiap wilayah, karena para pembeli harus memastikan bahan baku dan prosesnya seperti apa. Ribet banget ya? Ya sebenarnya tidak. Itu karena kitanya aja yang sekarang terlalu instan mikirnya.

Terakhir, dengan sistem ekonomi yang seperti itu, pasti orang-orang memilih menjadi usahawan merdeka. Jarang akan ada istilah buruh dan bos, karena semuanya saling bermitra sebagai rekan kerja, bukan atasan – bawahan. Hal ini akan menjaga rasa keadilan antar sesama manusia karena tidak ada cerita manusia dieksploitasi oleh manusia yang lain. Makanya Madinah, desa yang awalnya selalu dilanda perang saudara itu akhirnya menjadi sangat kuat dan mandiri ekonominya. Sehingga meskipun diblokade 3 bulan oleh pasukan koalisi Arab dalam perang Khandaq, ya masih sanggup bertahan. Karena masyarakatnya tidak konsumtif dan mampu mengelola sumber daya di dalamnya secara efektif dan efisien.

Nah, sekarang pilihan tergantung pada kita. Yang jelas saat ini di samping ada kapitalisme sekuler, sedang dibangun pula gerakan kapitalisme syariah. Lumayan buat ditonton perang ekonomi semacam itu. Karena pada taraf tertentu, kapitalisme syariah nanti juga tidak akan ada bedanya dengan kapitalisme sekuler, selain tampilan luarnya saja yang “Islami”, misalnya pegawainya mengucapkan salam, penampilan pegawai putrinya cantik-cantik dengan balutan hijab. Ya lumayan kan dilihat, ketimbang ke pusat kapitalisme sekuler. Tapi ya itu, pasarnya Abdurrahman bin Auf yang kita cita-citakan baru ada di dalam mimpi.

Maka dari itu, bukan bermaksud provokasi lho ya. Kalau di rumah bisa menanam pohung, ubi jalar, kentang, cabe, bayam, kangkung, di kebun, ya mending itu dilakukan. Apalagi punya sawah, punya rajakaya (sapi, kambing) dan unggas. Hidup akan terasa enak banget, ga ribet dengan soal sayur berpestisida lah, daging glonggongan lah, dan segala kerancuan dari makanan kemasan yang berpengawet, tidak perlu pusing dengan label halal MUI lah.

Tapi apa ya seekstrim itu? Ya kalau mampu. Kalau saya belum mampu, sesekali saya main ke lumbung kapitalisme sekuler dan syariah juga kok. Kan butuh produk teknologi, butuh interaksi, dan butuh cuci mata juga. Ya begini aja lah, namanya hidup di zaman kapitalisme kaffah, saya mah belum sanggup hidup menjadi manusia gunung secara kamil. Hahaha. Yang penting selalu eling lan waspada.

Juwiring, 15 September 2016

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.