Sejauh pemahaman saya belajar, ulama itu adalah bentuk jamak dari kata ‘alim, sebutan untuk hamba-hamba Allah yang dikaruniai ilmu-Nya dan paling takut pada-Nya. Maka galilah sedalam mungkin apa yang dimaksud dengan ilmu dan bagaimana aktualisasi takut dalam praktik kehidupan sekarang.

Realitasnya, istilah ulama diserap dalam bahasa Indonesia dengan makna yang salah kaprah. Maka tidak heran bisa muncul frase “seorang ulama”. Sebagaimana kata jamaah yang sebenarnya berarti sekumpulan orang, di sini salah kaprah dan bisa muncul frase “seorang jamaah”. Dan masih banyak lagi kekonyolan penggunaan kata dalam bahasa kita.

Yang lebih buruk lagi adalah makna kata “ulama” menjadi bias dari makna yang seharusnya. Berbagai peristiwa sejarah membuat makna ulama menjadi menyimpang dan membuat akal sehat masyarakat mati untuk sekedar mempertanyakan kembali. Berikut sekedar pemantik untuk kita berpikir tentang pemahaman makna ulama yang tidak karuan bentuknya.

Secara ortodoks, masyarakat bisa mengenali seseorang sebagai alim atau sekumpulan orang sebagai ulama melalui proses yang panjang. Peristiwa sejarah selalu menunjukkan kisah bagaimana ulama besar yang kini harum namanya di hati umat, pada masa hidupnya pun tidak banyak dipercaya umat di zamannya. Namun keteguhan hati mereka berdakwah dan warisan masterpiece mereka yang agung akhirnya menjadi semacam tanda keulamaan mereka. Jadi, ulama adalah para manusia yang berkontribusi pada pembangunan manusia sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi.

Kondisi itu berbeda dengan realitas hari ini. Setidaknya, beberapa faktor membentuk masyarakat kita memahami siapa yang disebut ulama secara ngawur dan lucu. Saya mengolah beberapa pelajaran yang saya terima dari guru-guru saya terkait kelucuan hari ini bagaimana kita memahami ulama.

1. Ulama bentukan pers/media massa. Sudah bukan hal yang rahasia, media massa merupakan alat propaganda yang efektif untuk membangun opini publik. Lewat media massa, orang yang sanad ilmunya tidak jelas dan karyanya embuh sekalipun bisa dicitrakan sebagai ulama. Cukup dilabeli KH ….. dan tulisannya dipermak sebagus mungkin oleh editornya, si anu ini lama-lama akan dipercaya publik sebagai ulama. Bahkan dengan model ormas-ormasan macam sekarang ada label ustadz s….. segala. Lucu sekali.

2. Ulama bentukan pemerintah. Sudah bukan rahasia lagi, MUI adalah produk pemerintah orde baru. Meskipun konon ada reformasi dan pimpinannya diisi ulama kredibel sekalipun, citranya sebagai anak buah pemerintah tidak akan hilang. Makanya menunggu fatwa MUI tentang hukum potong tangan/mati bagi koruptor atau fatwa atas sebuah penyelenggaraan pemerintahan yang tidak adil hampir mustahil akan muncul dari lembaga itu.

3. Ulama bentukan kepentingan politik. Negara kita terlanjur mengadopsi demokrasi liberal ala barat. Maka untuk membangun legitimasi di tengah masyarakat demi meraih suara, segala cara dihalalkan. Termasuk orang-orang yang tidak kompeten, dibajui seperti ulama lalu dikabarkan bahwa partai anu dan tokoh anu didukung oleh ulama.

4. Ulama selebritis. Ini adalah era pencitraan, banyak orang yang suka sekali untuk populer. Tak jarang hal itu juga dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk menjual agamanya. Ada yang punya istri, dijual keahliannya. Ada yang punya anak, dieksploitasi juga. Kita perlu mewaspadai ini agar tidak terjadi pada diri kita. Tapi juga jangan suudzon dulu, tidak setiap yang terkenal lantas dimaksud sebagai ulama selebritis, bahkan belum tentu juga mereka ulama.

5. Ulama bentukan sendiri. Ini adalah bentuk paling lucu. Orang yang ke-GR-an sehingga merasa dirinya pantas mengaku sebagai ulama. Lalu berakting demi mendapatkan perhatian publik, plus meraup recehan. Modal penampilan dan gaya-gaya tertentu, pencitraan diproduksi.

Nah, dari lima hal di atas kita seharusnya bisa lebih berhati-hati agar tidak mudah bertengkar ketika mengambil pendapat orang yang kita sangkai ulama. Pemahaman kita tentang ulama, bisa jadi masih bermasalah, maka ada baiknya tidak usah fanatik dan klaim-klaiman, apalagi sampai pro-proan dan anti-antian tidak karuan. Mending gunakan kaidah “yastami’unal qoula wa yattabi’una ahsan” (mendengarkan semua perkataan mereka, kemudian mengikuti yang diyakini paling benar). Jadi berhentilah tuduh sana-sini, fokus menyerap dan berpikir, agar melahirkan keputusan yang matang.

Sampai detik ini, bagi saya, ulama adalah mereka yang layak diteladani, tidak memburu dunia, dan menampakkan dirinya sebagai orang yang rendah hati sehingga selalu mau belajar belajar dan belajar. Integritas moralnya tinggi dan tawadhu’ kepada setiap manusia. Mari terus belajar kepada manusia seperti mereka. Cari sendiri, jangan cuma termakan katanya-katanya.

Ngawen, 26 Juni 2017

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.