Kebudayaan manusia itu dinamis, seringkali kita menganggap tradisi sebagai budaya itu sendiri.
Misal zaman dahulu ketika orang-orang di Pulau Jawa suka membuat sesaji dengan menyembelih hewan yang darah dan kepalanya ditanam di bawah pohon yang dianggap keramat. Oleh para wali, mereka ingin menanamkan budaya sedekah (yakni yang bersedakah tidak riya dan yang menerima sedekah tidak terhina) sekaligus menghapuskan budaya syirik ini. Caranya dengan mengganti sembelihan itu dengan menyediakan makanan di bawah pohon besar di mana orang lewat atau berteduh. Dengan adanya makanan itu, orang miskin atau musafir yang kehabisan bekal bisa menikmati makanan dan mendapatkan uang yang biasanya diselipkan di bawahnya. Mengapa ada setanggi/kemenyan? Karena itu dapat mengusir hewan-hewan yang merubungi makanan. Sayangnya, hasil olah kebudayaan tingkat tinggi ini tidak dipahami esensinya dan kembali menjadi tradisi sesaji.
Contoh lainnya adalah soal pakaian. Jika para bangsawan sering menggunakan pakaian yang berbalut emas dan sutera, maka diperkenalkan pakaian Jawa dalam bentuk surjan. Pakaian ini desainnya sederhana dan tidak mencerikan kemewahan seorang bangsawan. Tentu saja menutup aurat dan sangat nyaman dipakai dalam alam kehidupan masyarakat Jawa. Ada juga jenis pakaian gamis dan imamah (kupluk yang diubel-ubel dari kain) yang juga dimodifikasi dalam bentuk yang lebih nJawani. Tapi sekarang justru selalu dibenturkan dengan istilah pakaian Islami. Lha pakaian Islami sing kepriye? Koko? Itu kan baju dari China. Gamis? Itu kan baju dari Arab. Piye pakaian sing Islami dab?
Dalam bidang pemerintahan dan tata kota, dikenalkan konsep trigatra catur tunggal. Yakni tiga kesatuan antara alun-alun (perlambang dari rakyat), keraton (perlambang dari penguasa), dan masjid agung (perlambang dari ulama) yang berada dalam satu kompleks dan meletakkan pasar (perlambang dari kaum pedagang/kapitalis) jauh dari ketiganya. Ini adalah konsep ideal pemerintahan agar penguasa selalu dekat dengan rakyat dan ulama, serta menjaga jarak dari para pedagang yang suka kongkalikong. Hari ini, justru pedagang itu merangkap penguasa. Terkadang malah penguasa adalah pionnya para pedagang itu sendiri. Maka tidak heran jika rakyat dan SDA adalah komoditas manis untuk diperdagangkan, yang kadang-kadang minta stempel dari para kaum agamawan bejat.
Apakah kita hari ini sebenarnya masih memiliki kebudayaan yang bisa kita pegang dan kita bangun? Jangan-jangan peradaban kita memang telah mandeg, dan menjadi kaum terjajah yang pola pikir dan apa pun kehidupannya mung tiru-tiru sana-sini. Jika memang demikian, maka saya tidak mau ikut-ikutan. Konoh, njungkel-njungkela dhewe niru budaya fisik Amerika, Arab, Korea, dll. Aku memilih meniru sisi kebaikan akhlak yang masih ada dari mereka seperit kejujuran, kerja keras, dan percaya diri yang tinggi. Soal fisike, emoh, keteladanan para Waliyullah di sini lebih adiluhung. Merekalah yang lebih dekat dengan kesederhanaan Rasulullah dan para sahabat di permulaan dakwah Islam.
Juwiring, 15 Desember 2015