Sekolah Alam digagas untuk menjadi sekolah membebaskan. Sebelumnya juga muncul trend sekolah-sekolah Islam. Sebelumnya lagi ada banyak gagasan-gagasan perbaikan pendidikan di negeri ini. Namun biasanya berakhir pada trend dan diamini masyarakat tanpa sikap kritis. Akankah nasib sekolah alam nanti juga demikian?
Masalahnya bukanlah pada sekolah alam-nya, sekolah Islam-nya dll. Masalahnya adalah kesyirikan yang tumbuh di negeri kita. Karena menuhankan negara, menuhankan parpol, menuhankan aliran dan kiai/ustadznya, hingga bahkan menuhankan sekolah. Padahal (dalam bahasa sederhananya Cak Nun), hidup itu yang penting bersaksi bahwa tiada sesembahan selain Allah, nabi Muhammad utusan Allah, dan menerima kenyataan takdir yang Dia putuskan atas diri kita. Selainnya itu ndak ada nggak apa-apa.
Nah seberani apa kita membuktikan dalam hidup kita sendiri-sendiri mulai hari ini hingga mati nanti untuk menanggapi realitas negara, parpol, aliran, termasuk sekolahan. Kata Pak Adian Husaini, karena saking bergantungnya terhadap sekolah, masyarakat negeri ini terjangkit ideologi sekolahisme. Padahal tanggung jawab utama pendidikan itu ya di keluarga. Ayatnya jelas kok, “jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.
Dan semua ini konon memang terjadi karena umat kehilangan denotasinya. Kita banyak tertipu apa-apa yang sebenarnya konotasi dianggap sebagai denotasi. Dan celakanya cara kita memahami al Quran dan shirah Nabi pun terjerat pada perdebatan tafsir yang tak berkesudahan, bukan untuk membentuk pola pikir Qurani dan nabawi. Ketertipuan massal ini memang bukan tanpa sebab, karena setiap zaman manusia, ketersesatan itu berujung pada menuhankan materi. Dan kerusakan zaman ini adalah yakin menuhankan Tuhan, padahal sebenarnya kekayaan materi semata.
Saiki usume dalil-dalil digawa-gawa, ning dienteni ngko ujung-ujunge yo muk ngana kae. Iya, muk ngana kae. Ndobos.
Juwiring, 12 Desember 2015