Apa-apa itu kalau diideologikan, biasanya akan dipeluk dengan fanatik. Perbedaan-perbedaan yang bersifat ideologis sangat susah dijembatani, karena di sana ada fanatisme dan kadang disusupi kepentingan politik. Biasanya berakhir di medan perang. Untunglah selalu ada para ulama di setiap zaman yang menengahi sehingga pertumpahan darah tidak meluas dan berkepanjangan.

Sunni-Syiah awalnya adalah perkubuan politik, sebelum Syiah menjadi teologi baru. Perang Siffin dan tragedi Karbala adalah luka sejarah umat Islam semuanya, bukan hanya klaimnya Syiah saja. Aswaja-Wahabisme juga perkubuan politik ketika suku-suku di Najd ingin melepaskan diri dari dominasi Turki Utsmani. Lahirnya negara Saudi dan Turki Sekuler adalah akhir dari supremasi politik kekuasaan umat Islam. Tapi bukan akhir dari perjuangan umat Islam. Karena selalu ada ulama.

Di situ saya menyadari, Islam itu tidak sesempit tafsirnya satu dua orang. Islam adalah nilai yang memayungi kehidupan. Yang mewaraskan akal ketika dua orang saling bermusuhan, bagaimana yang lain sibuk mendamaikannya bukan ramai berkubu di sana dan di sini. Ketika satu pihak pegang kekuasaan, pihak lain menjadi oposan yang loyal dalam mengkritik dan mengoreksi tanpa berniat menghabisi. Selama ulama ada, bughat dan pemberontakan pasti akan dicegahnya. Jika terjadi pemberontakan dan pertumpahan darah sesama umat Islam, biasanya karena umat lebih percaya provokasi media dari pada nasihat para ulama.

Nah, kalau masih mikir mau bunuh-bunuhan dan singkir menyingkirkan di negeri ini, sebaiknya tidak usah menyebut-nyebut ulama. Karena di zaman-zaman terberat umat Islam di masa lalu, ulama adalah penjaga kewarasan umat agar bertahan hidup dari pedihnya penindasan para penguasa zalim, baik penguasa kafir maupun penguasa muslim sekalipun. Bersama para ulama, umat diajak bertasawuf melawan diri mereka sendiri sehingga mengetuk pintu-pintu langit berkat kesabaran, keuletan dan kemandirian umat. Barangkali itulah yang membuat Allah terharu, sehingga dibangkitkanlah pemimpin-pemimpin besar di tengah umat.

Shalahuddin al Ayyubi, bukanlah semata-mata produk kekuasaan. Beliau adalah buah kerja keras para ulama sebelumnya yang mendidik umat seperti Imam al Ghazali, Syekh Abdul Qadir al Jilani, Ibnu Athailah as Sakandari, dll. Sehingga ketika dia menjadi penguasa, umat yang siap berjihad telah banyak. Kisah pembebasan Yerusalem kedua bukan peperangan Islam-Kristen, tapi pembebasan untuk kedamaian bersama semua umat beragama. Tak hanya umat Islam, para patriakh Yerusalem pun lebih memilih dipimpin Shalahuddin dari pada raja pengganti Baldwin yang kejam.

Penguasa bisa tumbang, bisa saling menghancurkan. Sesama penguasa muslim bisa saling menghabisi satu sama lain. Itu bisa disimak sepeninggal khalifah Ali bin abi Thalib dan para sahabat utama. Tapi umat tetap teguh bersama para ulama, yang mewarisi semangat para sahabat yang memilih pergi berdakwah di masa fitnah. Umat Islam cinta damai, saling menjaga kestabilan hidup dan mengamankan satu sama lain.

Juwiring, 31 Mei 2017

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses