Hassan al Banna adalah pengikut tasawuf sadziliyah hashafiyah, makanya beliau mewariskan wirid al Ma’tsurat. Pada masa-masa itu, warna Ikhwanul Muslimin masih seperti gerakan-gerakan tasawuf pembebasan di berbagai negeri muslim yang sama-sama berjuang melawan penindasan kaum kolonial Eropa. Konsep 8 fikrahnya sebenarnya merupakan masterpiece luar biasa yang hari ini dapat menjadi jalan untuk mempersatukan elemen umat Islam dalam satu wadah perjuangan.

Sepeninggal Hassan al Banna, warna Ikhwanul Muslimin kemudian berubah drastis ketika pemimpinnya lebih banyak berkiblat pada pemikiran Sayyid Qutb. Saat itu, Ikhwan juga mendapat tantangan untuk merespon situasi dunia yang dalam perang hebat menuju tatanan dunia baru dengan sistem negara-bangsa di mana PBB sebagai pusat imperium politiknya dan IMF sebagai pusat imperium ekonominya (bahasa kasarnya, AS sebagai penguasa dunia baru di mana semua negara secara politik dan ekonomi tunduk dalam ketiaknya, kecuali beberapa gelintir negara besar saja yang masih mandiri).

Nah, yang mendominasi gerakan Ikhwanul Muslimin di Indonesia hingga saat ini adalah warna Sayyid Qutb-nya, bukan Hassan al Banna-nya. Apalagi hubungan Sayyid Qutb selama beliau masih hidup dengan rezim Saudi sangat mesra, sebelum akhirnya Saudi ngambek beberapa dekade kemudian ketika dikritik oleh Ikhwanul Muslimin terkait sistem pemerintahannya. Itulah mengapa di awal-awal, gerakan Ikhwanul Muslimin di Indonesia juga sering berselisih dengan NU dan (kadang juga) Muhammadiyah. Gesekan antara gerakan yang berawal dari Mesir dengan gerakan yang tumbuh dari lokal ini lebih sering dipicu oleh persaingan kepentingan pragmatisnya.

Kalau sekarang, semuanya sudah cair. Bukan karena pemahaman ideologi yang bertemu, melainkan secara institusi, semua pergerakan Islam saat ini sedang digoda dengan uang dan kekuasaan, sehingga para pemimpinnya mendapat ujian berat. Mereka mulai tergoda dengan itu, sehingga banyak yang tergelincir. Karena sama-sama tergelincir dalam jebakan yang sama, buat apa bertengkar lagi, wong sama-sama senang dan sama-sama untung. Di sisi yang lain, lahir kelompok-kelompok Islam yang ekstrim sebagai luapan kekesalan dan kekecewaan segolongan umat Islam melihat dunia Islam melemah. Mereka bersemangat untuk berperang, tapi mudah distir oleh intelijen untuk diadu domba dan menebarkan teror.

Makanya, pekerjaan rumah untuk membangun ukhuwah itu berat. Memadukan konsep tasawuf dengan pemikiran modern itu masih susah. Dan dengan adanya medsos perjuangan makin berat lagi, karena umat Islam lebih suka hestek-hestekan dan mikir instant. Lha rumangsane menegakkan khilafah kembali ki semudah membuat status plus hestek di medsos. Mbahmu. Wong bikin sesama umat Islam tidak bertengkar soal tahlilan atau tidak tahlilan, soal qunut atau tidak qunut, hingga soal nduding drijine anteng atau muter-muter we angele ra umum kok.

Juwiring, 21 November 2016

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.