Muhammadiyah lahir dari kepedulian untuk melayani umat, khususnya yang tertindas di kota-kota kala itu, makanya kiprahnya sangat besar di bidang pendidikan dan kesehatan serta layanan kemasyarakatan lainnya. Penataannya modern dan dengan satu komando terpusat. Maka jika muktamarnya cenderung adem sekali karena kultur yang dibangun lebih pada khidmat sosial sesuai sejarahnya. Di sana hanya ada satu rujukan fikih yang disepakati dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah.
NU lahir dari persatuan para ulama dari penjuru Nusantara yang sebelumnya telah memiliki basis keumatan di wilayahnya, khususnya di pedesaan. Mereka berakidah ahlussunnah wal jamaah, dengan mengambil fikih salah satu dari 4 madzhab, dan mengikuti metode tasawuf imam al Ghazaly dan imam-imam sezamannya. Mereka bergabung dalam satu payung besar untuk mengawal pemikiran dan pembangunan kebudayaan Islam di Nusantara. Dengan tingkat heterogenitas itu, masih mending muktamar berjalan sampai akhir meskipun diwarnai perdebatan sengit, di tengah gempuran fitnah dan adu domba yang terus dihembuskan dan ditunggangi aneka kepentingan mulai dari parpol, syiah, dan liberal. Selain itu, para kiai jelas memiliki pandangan fikih dan lebih variatif dibandingkan Muhammadiyah. Maka NU adalah payung dari heterogenitas buah dakwah para waliyullah di masa lalu.
Jika kedua ormas ini bersinergi di era ini alangkah luar biasanya. Muhammadiyah dengan modernitasnya dan pemikiran cemerlang para intelektualnya menghadang kekejaman pemerintah dengan menggugati UU yang merugikan masyarakat Nusantara dan menggiatkan pelayanan sosial dengan ngemong lembaga sosial yang sudah banyak saat ini. NU dengan khazanah ilmu dari kitab-kitab klasiknya yang berjibun merumuskan kembali strategi dakwah di ranah pemikiran dan kebudayaan untuk mengembalikan generasi muda agar mau kembali ke pesantren dan akar kepribadian bangsa yang luhur sebagaimana yang digariskan para auliya di masa dakwah dahulu.
Organisasi-organisasi yang lebih kecil dan lebih muda, bergabunglah menguatkan kedua sesepuh bangsa ini. Kedua ormas ini adalah hasil ijtihad murid-murid syaikhana Kholil, pendiri NU mewarisi tongkatnya, pendiri Muhammadiyah mewarisi tasbihnya, dan di balik keduanya mereka dikawal murid-murid yang mewarisi cincin dan pisang emas. Jika hasil ijtihad inilah yang dimaksud dari kelanjutan Islam Nusantara seperti yang digariskan para waliyullah yang diutus para sultan di pusat kekhalifahan, maka saya setuju dengan istilah Islam Nusantara. Inilah masterpiece dakwah yang hari ini membentuk masyarakat yang sangat halus dan beradab.
Tapi belakangan budaya barbar dan kebiasaan mencela semakin menguat seiring pertumbuhan media sosial. Sangat disayangkan. Satu zona kepulauan yang terdiri dari ratusan bangsa ini yang telah berhimpun dalam payung Islam, dikoyak hendak dihancurkan agar berpecah belah sebagaimana Arab yang satu bangsa saja membelah berkeping-keping menjadi banyak negara karena ambisi nasab dan kekabilahan mereka. Apa kita mau jadi kayak Arab yang remuk seperti itu?
Surakarta, 7 Agustus 2015