Sarapan pagi sama Pak Yudi, dapat pencerahan baru soal pembentukan karakter manusia.
Kanjeng Nabi Muhammad itu menerima wahyu di usia-nya yang ke-40 tahun. Pertanyaannya? Sebelum usia 40 tahun itu Muhammad ngapain? Dan fase inilah hal yang hampir di semua kalangan umat Islam tidak pernah dibahas, apalagi diterjemahkan di dalam konsep pendidikan. Kajian shiroh, isine mung perang, perang, dan perang.
Sekarang zamannya ngejoki uteke bocah-bocah dengan aneka sampah informasi dan membebani kepala mereka dengan monumen-monumen cita-cita orang tua. Termasuk mereka dipaksakan untuk mengerti apa yang seharusnya mereka mengerti secara bertahap, yakni al Quran.
Nabi Muhammad adalah contoh dari Allah langsung bagaimana manusia itu membentuk karakternya sampai matang. Sehingga ketika Dia turunkan al Quran, beliau sudah siap nyunggi beban yang sangat berat itu untuk diajarkan ke umat. Al Quran itu kandungannya berat dan banyak, ora sembarangan.
Nah, kalau sekarang kan terbalik-balik. Proporsi melatih anak bekerja keras, jujur, mandiri, berbakti pada orang tua, menghargai alam, dll hanya menjadi klise karena sistem pendidikan dan berbagai sarana belajar yang dibangun tidak bisa memfasilitasi hal itu. Makanya tidak heran jika di suatu mabit, salah seorang musyrif ngelu ndase melihat anak binaannya yang hafal sekian juz tapi tingkah lakunya tidak karuan.
Makanya memahami al Quran itu adalah prosesnya gradual. Metodenya bisa macam-macam. Dalam realitasnya, kita akan sering melihat mereka yang tidak seimbang prosesnya akan kabotan nyunggi beban wahyu Allah itu. Makanya tidak perlu heran jika kita juga pernah mendengar koruptor yang hafal al Quran.
Nah, akhirnya kita umat Islam yang awam-awam ini ketiban sampur dan penghinaan dari orang-orang yang tidak suka dengan Islam. “Noh, lihat tuh. Yang kiai, yang dekat dengan al Quran saja korupsi. Islam ternyata ngajarin korupsi.” Lalu di antara kita ada yang ngamuk-ngamuk, ada yang misuh-misuh, dan lebih banyak diam sambil mikir bagaimana menjawab ironi yang rumit itu.
Dan ini ternyata hal penting yang selama ini terlupakan dari benakku. Nabi itu pernah jadi anak kecil, hidup di desa, bermain layaknya anak-anak biasa, berjuang keras sejak kecil membiayai hidupnya sendiri, menjadi hakim di waktu masih muda untuk menengahi pertikaian, menjadi seorang miliarder hingga menikahi Khadijah dengan mahar yang luar biasa banyak, menjadi sosok yang dermawan. Puncaknya ketika wahyu turun, dia wakafkan seluruh hidupnya untuk menyampaikan al Quran dengan lisan dan perbuatan.
Jangan lupakan kisah hidup Muhammad sebelum menerima wahyu, karena di situlah kita mengerti bagaimana manusia itu hidup. Demikian parafrase penjelasan beliau sepenangkapku.
Juwiring, 16 Maret 2016