Kita memasuki zaman di mana kita sulit mengambil jarak antara diri kita sebagai manusia dengan negara, organisasi, madzhab, dan berbagai atribut anyaran yang dilekatkan pada diri kita, baik oleh orang lain maupun oleh diri kita sendiri.

Sehingga yang paling konyol adalah kita percaya bahwa pertarungan politik, persaingan organisasi dan bisnis, hingga berbagai kebijakan pemerintah yang sedang berlangsung ini akan membuat Indonesia lebih baik. Yo wis, terus-terusna wae.

Absurd juga sebenarnya ketika kita melihat pertarungan politik yang kayak gini disebut-sebut bisa mempersatukan Indonesia, padahal sudah jelas di depan mata di mana kita melihat banyak orang menjadi hilang akal karena fanatisme yang mereka pertahankan sendiri-sendiri.

Melihat kenyataan ini, saya mulai ragu bahwa Islam yang diajarkan Kanjeng Nabi Muhammad bisa membuat pemeluknya seprimordial ini. Ajarannya Kanjeng Nabi tidak mungkin seperti yang diamalkan kebanyakan umat Islam sekarang. Kalau situasi dan sistemnya kayak gini, seharusnya kita (yang meyakini Islam sebagai jalan hidup) ya menjadikan Islam satu-satunya pegangan untuk melewati derasnya arus fanatisme yang parah ini.

Penerapannya begini, kalau sama-sama ber-Islam kok kita bisa saling membenci karena perbedaan orientasi politik, ormas, madzhab, atau bahkan urusan persaingan yang lebih wagu lainnya, maka ya mari kembali pada Islam-nya. Jika yang dipegang Islam-nya, kita tidak akan memperlama ketegangan itu berlangsung. Kita muhasabahi barangkali diri kita terlalu ngoyo untuk merasa paling benar dan ingin mengatur-atur orang lain agar mengikuti kehendak kita secara membabi buta.

Islam itu melekat sebagai fitrah kemanusiaan kita. Islam membuat pemeluknya memiliki universalitas dalam berpikir, tetapi realistis berpijak pada lokalitasnya. Karena mereka memiliki pemahaman yang matang atas konsep “syu’ub” dan “qobail” sehingga bisa merealisasikan “li ta’arafu” dengan sebaik-baiknya. Tidak seperti sekarang, mosok beda madzhab direwangi wegah shalat jamaah, ngafir-ngafirke, lan nyesat-nyesatke liyane. Gendheng pol.

Jika sesama umat Islam bisa semeleh dan tidak kayak sekarang, dengan sendirinya umat manusia yang memiliki keyakinan lain pun akan melihat Islam dengan penuh simpati. Dengan sendirinya akan terwujud keharmonian. Terpecah belahnya umat Islam itu ya sebabnya karena penyakit dalam tubuh umat Islam sendiri. Pihak eksternal itu hanya bersifat tambahan, mereka melihat kesempatan dan memanfaatkannya. Kalau umat Islamnya kuat, ya tidak akan bisa diapa-apain.

Surakarta, 19 Februari 2018

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.