Ketika umat Islam dipimpin Rasulullah, kepemimpinan bersifat tunggal dan kekuasaan terdistribusi pada masing-masing kepala kabilah.

Ketika umat Islam dipimpin khalifah Abu Bakar, kepemimpinan dan kekuasaan bersifat sentral dalam kendali khalifah. Kondisi ini ditempuh karena demi menjaga stabilitas umat yang baru saja berduka dan melindunginya dari ancaman luar.

Ketika umat Islam dipimpin khalifah Umar, kepemimpinan dan kekuasaan bersifat sentral dengan pendekatan ekspansif. Kampanye militer dijalankan sesuai dengan keyakinan nubuat bahwa tiga kekuasaan besar yang melingkupi jazirah Arab akan dapat ditumbangkan. Meski pasukan Islam perkasa, tapi kehidupan khalifah Umar tetap seperti pendahulunya yang sederhana.

Ketika umat Islam dipimpin khalifah Utsman, kepemimpinan dan kekuasaan tetap bersifat sentral. Tetapi karena ini masa-masa tenang, kekuasaan didelegasikan ke wilayah-wilayah yang kebanyakan diisi oleh bani Umayyah, yang tak lain klan keluarga khalifah. Maksudnya baik agar solid, tapi fitnah dunia membuat sebagian gubernurnya menyimpang dan korup. Hal ini dimanfaatkan oleh para provokator dan penjilat untuk mengadu domba umat. Hasilnya kegaduhan yang berujung pada pembunuhan sang khalifah.

Ketika umat Islam dipimpin khalifah Ali, kepemimpinan mulai digoyang fitnah. Bani Umayyah yang kehilangan Utsman ingin kasus pembunuhannya dituntaskan. Tapi khalifah Ali ingin menunda sampai kondisi stabil dulu baru dilakukan pengusutan. Perbedaan pendapat ini kembali digosok oleh para provokator yang melahirkan perang Siffin. Tak hanya itu, sebelumnya terjadi pula perbedaan pendapat antara khalifah Ali dengan beberapa sahabat yang juga berujung pada peperangan. Meskipun demikian, khalifah Ali memilih mengalah demi kemaslahatan yang berakibat beliau dibunuh oleh mantan anggota pasukan setianya yang kecewa.

Pasca kepemimpinan khalifah empat, umat Islam benar-benar kehilangan pemimpin tunggal. Kepemimpinan umat akhirnya dipegang para ulama, dan kekuasaan dilanjutkan bani Umayyah dengan tradisinya turun temurun. Sangat masuk akal mengingat para penguasa pasti tidak mau kehilangan kekuasaannya begitu saja. Maka baik atau pun buruk, tradisi serah terima jabatan pada putra mahkota harus dilaksanakan, sekalipun dia seorang yang buruk akhlaknya maupun tidak cakap berkuasa. Di masa bani Umayyah, umat Islam mendapatkan ujian-ujian berat, seperti pembantaian Husain di Karbala dan pembantaian 200 ribu umat Islam oleh panglima penguasa, Hajjaj bin Yusuf. Catat itu pembantaian penguasa Islam kepada umat Islam yang tidak sependapat secara politik dengan penguasanya. Untunglah ada satu raja agung yang pernah berkuasa, Umar bin Abdul Aziz, yang berbeda dari kebanyakan raja bani Umayyah.

Ketika dinasti Umayyah semakin bejat, lahirlah kekuatan politik baru yaitu dinasti Abbasiyah. Para ulama pun membiarkan kekuatan politik ini tumbuh pesat dengan harapan dapat menggantikan dinasti Umayyah yang semakin rusak. Akhirnya terjadilah pembantaian besar-besaran dan peralihan kekuasaan. Meski dinasti Abbasiyah berkuasa, masih ada keturunan dinasti Umayyah yang lolos dari pembantaian dan mendirikan kekuasaan sendiri di Andalusia (Spanyol). Sehingga di era ini, aslinya ada dua matahari kekuasaan. Tapi menariknya, yang menggunakan gelar khalifah adalah raja-raja bani Abbasiyah. Coba, zaman itu, umat Islam di wilayah yang jauh harus berbaiat ke mana?

Makin ke sini, umat Islam menghadapi banyak ujian. Dari penguasa-penguasa muslim yang zalim, serbuan penguasa non muslim dan penindasan mereka, dan dialektika antara Islam dengan khazanah peradaban lain. Tapi selalu terlihat bahwa Islam bisa membangun dialektika.

Ketika wilayah Islam semakin luas, kekuasaan Islam terbagi menjadi lima kelompok besar (menurut Prof. A. Hasyimi) yaitu Kesultanan Turki Utsmani, Imperium Maghrib (Afrika Barat), Imperium Syafawi Persia (Syiah), Imperium Mughal India, dan Imperium Asia Tenggara di bawah pimpinan Kesultanan Aceh Darussalam. Pada awalnya negeri-negeri besar ini mengakui keturunan Dinasti Abasiyah sebagai khalifah meskipun sebenarnya mereka hanyalah tinggal sebagai sebuah keluarga yang hidupnya dibawah perlindungan dinasti Mamaluk Mesir sampai akhirnya raja dari Kesultanan Turki Utsmani menahbiskan diri sebagai khalifah untuk umat Islam.

Pada intinya, kekuasaan di tengah umat Islam dinamis, tidak sesederhana dongeng tentang satu sistem pemerintahan, satu kendali dan satu warna. Yang menyatukan dunia Islam adalah nilai-nilai Islam itu sendiri. Sekalipun para penguasa saling bertempur untuk menunjukkan kekuatannya, umat Islam tetap hidup dalam pengajaran para ulama.

Lambat laun, ketika Islam ditinggalkan, sibuk mengejar dunia, para ulama banyak diwafatkan, hancurlah peradaban Islam yang besar itu. Hari ini, umat Islam seperti anak ayam kehilangan induknya. Akibatnya nggamblok ke sana kemari. Bertengkar satu sama lain, unggul-unggulan identitas.

Pertanyaannya, apakah kita termasuk generasi yang ingin meneruskan kemunduran ini? Atau kembali menjadi generasi emas umat?

Juwiring, 11 Juni 2017

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.