Perbedaan-perbedaan yang timbul karena ketekunan belajar para ulama, tidak pernah menimbulkan perseteruan yang lebih besar dibandingkan perseteruan politis.
Perbedaan madzhab-madzhab fikih dalam Islam tidak pernah melahirkan pertentangan fundamental, meski sesekali ada juga grudukan antar pendukung madzhab. Itu tidak dapat dipungkiri. Tapi setidaknya perbedaan madzhab tidak pernah melahirkan permusuhan sengit di kalangan umat Islam.
Hal ini berbeda dengan pertentangan Sunni-Syiah dan Aswaja-Wahabi. Pertentangan Sunni-Syiah berawal dari perseteruan politik antara Ali dan Muawiyah yang dimanfaatkan oleh musuh Islam untuk membelah umat Islam. Dimulai dari perang Siffin, dipuncaki dengan tragedi Karbala. Apalagi ketika Syiah membangun teologi baru yang berbeda dengan Sunni, maka pertentangan dua kubu ini kian abadi.
Demikian pula dengan Wahabi. Gerakan yang awalnya terinspirasi dari konsep gerakannya Ibnu Taimiyah, yang kemudian menjadi platform gerakan suku-suku Najd untuk melepaskan diri dari pengaruh Turki Utsmani ini juga politis. Untuk membenarkan alasan mereka berlepas diri dari kekuasaan Turki, dibangunlah ideologi takfiri sehingga mereka sah untuk melepaskan diri dari kekuasaan Islam, sekalipun harus bersekutu dengan Inggris.
Walaupun hari ini Wahabisme ini mengalami perpecahan dan sebagian ada yang dekat dengan golongan Aswaja, pertentangan antara Aswaja dan Wahabi juga termasuk pertentangan yang sangat tajam. Dijembatani seperti apa pun, faktor perbedaannya kelewat mendalam. Apalagi Wahabi ini memiliki konsep seperti Syiah yang menggunakan satu negara sebagai rujukan utama mereka. Syiah berkiblat ke Iran, Wahabi berkiblat ke Saudi Arabia.
Hal ini berbeda dengan konsep dasar ahlussunnah wal jamaah yang tidak pernah meletakkan negara sebagai sesuatu yang primer. Negara dan kekuasaan hanyalah salah satu instrumen untuk menjamin tegaknya pengamalan Islam. Kalau suatu zaman negara dan para penguasanya memang busuk semua, ya tidak ada masalah, umat dididik bertahan menghadapi kezaliman sampai datangnya pertolongan Allah.
Para ulama ahlussunnah wal jamaah selalu menempatkan dirinya sebagai bagian dari umat, bukan bagian dari penguasa. Jika penguasanya baik, mereka mau bersahabat. Jika penguasanya jahat, mereka pasang badan untuk melindungi umat. Makanya dalam pemahaman ahlussunnah wal jamaah, yang diutamakan adalah kestabilan hidup bersama agar umat dapat menjalankan syariat semampu mereka. Dakwah yang dibangun pun didasarkan pada kaidah-kaidah kemaslahatan.
Hari ini, kondisi umat Islam semakin runyam karena kubu-kubu yang terbentuk semakin banyak. Tidak lagi oleh pertentangan politik yang sederhana seperti yang diuraikan di atas, tapi memang dasarnya umat Islam sudah terfitnah oleh dunia. Sebagian saudara kita saat ini lebih berminat untuk menumpuk materi dan kekuasaan dari pada ilmu.
Kondisi itu semakin diperparah dengan kehadiran media sosial. Media sosial tidak salah, tetapi pembawaan sikap kita yang mewarisi tradisi pecah belah sejak zaman baheula itu membuat kegaduhan makin menjadi-jadi. Apalagi umat Islam sedang krisis peradaban. Meskipun jumlah umat Islam hampir satu miliar, peradabannya nggamblok ke sana ke mari, entah berkiblat pada Barat, pada India, pada Tiongkok, bahkan pada Arab Jahiliyah pra Islam.
Kita sebagai umat Islam memang sekarang sedang krisis percaya diri. Dalam hal apa pun isinya nggamblok ke sana kemari, saking tidak percaya dirinya. Padahal khazanah peradaban kita di masa lalu terbukti menyejarah. Tapi begitulah, menggali itu melelahkan. Paling penak ya nemplok, bila perlu plagiat.
Pertanyaannya, apakah kita akan terus melanggengkan permusuhan akibat perbedaan-perbedaan ini? Jika sesama umat Islam saja bertengkar, bagaimana kita akan mengayomi umat lain yang hidup di tengah-tengah kita?
Juwiring, 11 Juni 2017