Media sosial adalah sebuah mekanisme luar biasa yang Allah takdirkan untuk melihat kualitas berpikir generasi zaman ini.
Betapa banyak hal tidak masuk akal yang dulu hanya tersimpan dalam ruang-ruang privat sekarang terekspos luar biasa ke publik.
Menurut saya berbagai kekacauan yang timbul saat ini bukan akibat adanya media sosial. Itu memang karena karakter bawaan kita yang bermasalah.
Misalnya orang-orang yang tidak kompeten menjadi lebih terkenal dari orang yang berkompeten. Itu menandakan masyarakat kita itu penyuka hal-hal yang populer, tidak terbiasa investigasi.
Mulai dari urusan pemilu, kubu-kubuan politik dan pendapat, hingga yang terakhir adalah urusan bocah SMA yang suka meng-copy paste status-status lawas medsos untuk diaku sebagai statusnya.
Bagi saya, Afi itu bukan siapa-siapa, silahkan saja dia melakukan plagiat dan mengaku-aku itu tulisannya. Masalahnya kebiasaan kita memviralkan (baik untuk mendukung atau menentang) sambil mencela di dindingnya secara tidak langsung adalah membuat dia seperti “orang penting”.
Demikianlah, Allah membuka mata kita betapa kemampuan bangsa ini memetakan hal-hal prioritas dalam hidupnya saja masih kacau. Jadi berharap kebangkitan secara instan dan lahirnya kepemimpinan yang baik tentu lebih layak menjadi bahan tertawaan.
Saya percaya bangsa ini akan bangkit. Tapi jelas bukan oleh generasi baperan dan viral-viralan semacam itu. Sejak zaman baheula, kebangkitan suatu masyarakat itu dimulai dari tradisi ilmu. Lalu mereka melakukan perbaikan kualitas hidup yang melahirkan dominasi di berbagai bidang.
Puncaknya, ketika kekuatan mereka besar, maka mereka meneguhkan peradabannya dengan tegaknya kekuasaan yang kuat. Meskipun demikian, dari kekuasaan ini pula peradaban sebuah bangsa akhirnya hancur lebur karena kerusakan yang ditimbulkannya sendiri.
Segala puji bagi Allah yang menghilhami Mark Zuckerberg dkk sehingga bisa membuat media sosial ajaib seperti ini. Dari karya mereka kita berkaca tentang kualitas kehidupan kita yang makin jauh tenggelam dalam kepekokan parah. Bodoh itu baik, agar kita belajar. Tapi kalau kita pekok, betapa menderitanya sekiranya kita mengerti.
Juwiring, 10 Juni 2017