Saya berani bertaruh bahwa para khalifah empat (khulafaur rasyidin) itu bukanlah orang-orang yang mewarisi kepemimpinan para raja, tapi mereka mewarisi kepemimpinan para nabi.
Indikatornya menurut saya dilihat dari dua hal.
1. Kehidupan pribadi mereka yang sangat sederhana
2. Yang mereka prioritaskan adalah penyiaran Islam, bukan semata-mata urusan penaklukkan kekuasaan.
Dari Abu Bakar sampai Ali bin Abi Thalib, semuanya menjalani kehidupan yang sangat sederhana. Kesederhanaan mereka bisa dibilang ekstrim, meskipun sebenarnya harta mereka masih berlimpah, kecuali Ali yang memang sejak muda sudah anti kepada dunia. Hal itu penting untuk kita lihat mengapa mereka menjalani itu semua. Lalu bandingkan dengan kehidupan sekarang.
Orientasi kepemimpinan mereka adalah dakwah, yaitu upaya bagaimana Islam ini tersiar, bukan semata-mata demi eksistensi mereka sebagai penguasa. Cukuplah disimak mengapa pasukan-pasukan Islam di zaman Abu Bakar hingga Utsman pada awal-awal kepemimpinannya sangat efektif menghadapi Persia dan Romawi. Seolah-olah mereka melaju dengan mulus mencapai pusat kekuasaan Persia dan Romawi Timur tanpa halangan yang berarti.
Pernahkah bertanya, kok bisa pasukan kelas gurun langsung berhadapan dengan para pasukan elit di pusat kekuasaan? Kira-kira seperti apa simulasinya, pasukan kelas gurun yang reputasinya belum seberapa bisa melesat dengan mudah menuju pusat kekuasaan? Apakah penguasa-penguasa daerah begitu mudahnya tunduk untuk mengakui pasukan Arab pedalaman itu atau sebenarnya ada upaya dakwah yang menarik dari para pasukan ini sehingga memesona masyarakat di setiap wilayah dilewati sehingga tidak ada gejolak perlawanan berarti dari masyarakat?
Para khalifah ini punya tantangannya masing-masing. Abu Bakar menghadapi situasi pemburukan opini dengan kabar wafatnya Rasulullah, sehingga beliau mengeluarkan strategi militer melawan pasukan Romawi untuk membuktikan kepada bangsa Arab bahwa umat Islam itu kuat. Umar bin Khattab melihat potensi ancaman dari dua kekaisaran besar yang bisa menumpas dakwah Islam yang dibawa para sahabat. Sehingga ketika ajakan masuk Islam kepada penguasanya tidak diindahkan, maka dipilihkan tantangan secara jantan dengan kampanye militer.
Namun hal itu mulai berubah ketika di zaman Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Setelah wilayah-wilayah yang ditaklukkan relatif aman dari ancaman politik yang mengganggu dakwah Islam, maka proses pembangunan mulai berjalan. Tapi sebagaimana lazimnya sebuah kemapanan, praktik korupsi dan penyelewengan amanat mulai terjadi. Meskipun kedua khalifah ini sudah memberi teladan yang sangat baik dalam kehidupan pribadi mereka, tapi ternyata para pejabat ya tetap suka menumpuk-numpuk harta.
Penyelewengan itu bermuara pada dua hal. Rakyat menjadi muak dengan para pemimpin politik dan para pemimpin politik ini menyukai kedudukannya kelewat batas sehingga tidak rela jika kehilangan kedudukan. Maka tidak heran jika di zaman Utsman bin Affan, seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba’ bisa menjadi provokator massa dan menghasut mereka untuk melakukan demonstrasi anarkis ke Madinah yang berujung pada kematian sang khalifah. Belum selesai sampai di situ, ketegangan yang semula antara rakyat dan khalifah akibat provokasi meruncing menjadi urusan permusuhan antar klan sehingga lahirlah kubu Ali yang dibaiat sebagai khalifah dengan Muawiyah mewakili trah Utsman bin Affan.
Perkubuan antara Ali dan Muawiyah meruncing menjadi perang saudara sesama umat Islam, yaitu perang Siffin. Lihat apa yang dilakukan Ali sebagai khalifah ketika peperangan hampir dimenangkannya, tapi pihak Muawiyah mengajak berunding? Menerimanya. Itu tandanya Ali lebih memilih persatuan ketimbang eksistensi kekhalifahannya. Terbukti dalam proses perundingan Ali kalah dan dia kehilangan status kekhalifahannya. Bahkan beliau pun harus berakhir tragis di tangan mantan pasukannya yang kecewa atas keputusan beliau.
Ketika sebagian umat Islam memilih Hassan bin Ali sebagai khalifah, kubu Muawiyah kembali bergolak. Tapi lagi-lagi seperti ayahnya, Hassan memilih berdamai dan menyerahkan kekhalifahannya kepada Muawiyah dengan syarat sepeninggal Muawiyah, pengangkatan pemimpin dimulai dengan prinsip musyawarah dan tidak bersifat dinasti sebagaimana khalifah-khalifah sebelumnya. Dan sebagaimana ayahnya pula, Hassan berakhir tragis dengan dibunuh.
Namun kenyataannya, sepeninggal Muawiyah, klan bani Umayyah tidak ingin kehilangan kekuasaannya sehingga mereka melantik secara sepihak Yazid bin Muawiyah. Hal inilah yang membuat Husain bin Ali berteriak memprotes praktik korupsi politik yang paling menyejarah. Husain bin Ali adalah satu-satunya tokoh di masanya yang berani bersuara ketika umat Islam memilih diam dari pada ditumpas oleh pasukan besar yang dimiliki Bani Umayyah dan sekutunya. Sehingga beliau pun berakhir tragis di padang Karbala. Peristiwa memilukan itu menjadi luka umat Islam yang akhirnya membesar dan melahirkan aliran Syiah yang kita kenal sekarang. Sebelum membesar menjadi konsep teologi baru (yang sebagian dinyatakan sesat oleh para ulama Sunni), Syiah bermula dari sebuah luka politik di tengah umat Islam.
Pertanyaannya, siapa yang kemudian meneruskan kepemimpinan para khalifah empat itu? Para ulama atau para raja sejak dari Dinasti Umayyah hingga Utsmaniyah. Tentu kita akan mendapati bahwa para ulama-lah yang paling banyak berperan dalam memimpin umat Islam. Sehingga saat dunia Islam kebetulan dikuasai oleh raja-raja yang zalim, umat Islam tidak tercerai berai dalam provokasi pemberontakan. Saat dunia Islam dihancurkan pasukan Eropa dan Mongol, umat Islam dapat kembali bangkit dan merestorasi kepemimpinannya. Bahkan bangsa Mongol justru banyak yang masuk Islam dan meneruskan kekuasaan Islam di wilayah mereka sendiri-sendiri.
Barangkali, selama ini orientasi pembelajaran sejarah kita memang keliru. Sehingga anak-anak kita lebih mengagumi raja-raja dibanding para ulama. Mereka lebih kagum pada Harun al Rasyid dan al Makmun dibandingkan Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka lebih kagum pada Walid bin Abdul Malik dibandingkan Imam Sibawaih dan Abu Hanifah.
Lalu di negeriku yang bernama Indonesia ini, pemilu dan negara menjadi sedemikian menguras tenaga ketimbang kita berpikir merestorasi masyarakat yang sedang dijajah oleh modernitas Barat yang ateistik ini. Coba lihat, kaum kelas menengah kita saat ini orientasinya ingin makin jadi elit apa memilih terjun ke tengah masyarakat bawah yang awam dan terus dicekoki tontonan busuk lewat televisi dan berbagai sarana komunikasi.
Coba kita renungkan, kepemimpinan macam apa sih yang sebenarnya kita inginkan? Kepemimpinan para raja atau para nabi?
Juwiring, 23 Mei 2017