Apa yang mau ditiru dari bangsa yang nenek moyangnya jelas-jelas sama, memiliki kemuliaan, dititipi satu bahasa kemuliaan juga, bahasanya al-Quran, tapi mung kerah wae, gelut tuduh-tuduhan, diadu satu sama lain oleh Amerika-Israel dan Rusia-China, ndak pernah mau bersatu. Satu bagian sedang menderita sampai-sampai yang di sini membangun solidaritas untuk membantunya, satunya lagi sibuk bermewah-mewah pamer gedung dan segala gemerlapnya, satunya lagi meraup untung besar dari bisnis paling prestisius sepanjang masa, bisnis tahunan yang tidak akan ada habisnya.
Bangsa kacau kayak gitu kok kita disuruh niru-niru mereka, ya cara berpikirnya, cara berbeda pendapatnya, cara berdakwahnya. Akhire saiki sebagian wis dadi mirip mereka, sering membangun dikotomi di permukaan, lalu membuat gelar-gelar simplifikatif untuk membangkitkan permusuhan satu sama lain. Sekarang dikit-dikit tuduh dia itu ….. kamu itu ….. Bahkan sekarang dengan adanya media sosial, hal-hal semacam itu malah jadi luar biasa ramenya.
Islam itu mengajarkan persatuan, cukuplah kita fokus tentang perkara penting ini agar bisa mengatasi kerusakan-kerusakan yang dihembuskan di tengah umat. Baik itu virus pemikiran yang menghancurkan bangunan sosial kebudayaan kita. Carilah, wilayah peradaban Islam mana yang masih otentik dengan bentuknya mengikuti garis dakwah para pendahulunya selain di wilayah kepulauan ini. Di Barat (Amerika dan Eropa) peradaban Islam runtuh dengan serbuan kolonialisme. Arab dan Asia Tengah hancur dengan perpecahan di kalangan mereka sendiri, revolusi demi revolusi yang berlangsung tanpa henti. Kita, meskipun sempat diinvasi kaum Eropa, ulama kita masih tetap bisa menjaga kedaulatan akidah bangsa kita.
Peradaban Islam di Nusantara dibangun juga oleh nenek moyang bangsa yang sekarang “nganu” itu. Mereka hijrah ke sini membawa kemuliaan Islam itu. Jadi bagaimana kita hari ini kok inferior gara-gara disebut-sebut tidak sesuai mereka. Yo ben wong mereka sekarang bersatu aja nggak bisa kok kita disuruh-suruh berpikir seperti mereka. Beda pendapat tuduh langsung, gelut, debat, dan nanti kalau punya kekuasaan politik langsung digunakan cara-cara kasar menyingkirkannya. Sadis sekali cara-cara semacam itu. Nggak ada bedanya kan dengan Amerika yang kalau lihat satu negara ngeyel, gruduk dengan tuduhan. Sama aja motifnya, beda ranah dan beda bentuk aja.
Sebagai muslim di Nusantara, saya berkhidmat pada pendahulu mereka yang shalih, tapi bukan wajah mereka yang sekarang. Mereka sekarang sejajar dengan kita, mungkin lebih parah lagi. Kita adalah bangsa yang penuh lapang dada. Bayangkan, Haramain itu kan harusnya hak seluruh umat Islam di dunia, tapi kita mengikhlaskan untuk dikelola mereka. Yang untung mereka, hingga mereka sekarang mengubah lokasi paling bersejarah itu menjadi metropolitan yang dipenuhi pemandangan “nganu” asal negeri yang selama ini sudah kita kenal bersama sebagai penghancur negeri-negeri Muslim. Saya berkhidmat pada Rasulullah, sahabat, dan orang-orang yang telah menjayakan agama ini. Tapi bukan mereka-mereka sekarang yang bahkan membangun persatuan saja tidak bisa.
Mari kita syukuri persatuan yang masih terbina berabad-abad karena Islam di tanah kepulauan yang subur ini. Muslim di Nusantara adalah potret peradaban Islam yang masih otentik hari ini. Jangan inferior, jangan minder, dan jangan mudah diadu domba untuk bermusuhan dengan paham-paham impor yang merusak seperti yang hari ini berseliweran lewat media sosial dan media massa. Mending tinggalkan itu semua, mari bergaul secara tradisional lagi. Kon gelut kayak mereka sekarang, nggilani. Geluta dewe kana.
Surakarta, 24 Agustus 2015