Kadang kita itu enggan mengakui bahwa Madinah menerima Rasulullah itu karena pertolongan Allah seperti yang dijanjikan dalam surat ar-Ruum. Sebelum hijrah ke Madinah, sahabat-sahabat telah hijrah ke Najasi (salah satu negara bagian Ruum) dan diterima dengan baik oleh raja di sana. Peristiwa ini memberi konsekuensi politik yang sangat besar.

Dalam pembicaraan para pembesar di zaman itu, umat Islam adalah umat yang diakui eksistensinya oleh kekaisaran Ruum meskipun belum punya negara sendiri. Sementara saat itu, Mekah adalah negara bagian terjauh yang dimiliki kekaisaran Persia di jazirah Arab. Keputusan Madinah menerima umat Islam dari Mekah tidak bisa dilepaskan dari kalkulasi politik global di zaman itu.

Dengan perkembangan peperangan antara Kekaisaran Ruum dan Persia yang berbalik, awalnya Persia menang (seperti ayat pembuka surat ar Ruum), lalu kelak akan dikalahkan. Makanya peristiwa hijrah umat Islam ke Madinah bersamaan dengan bertiupnya angin kemenangan kekaisaran Ruum yang terus memukul mundur pasukan Persia. Dan kelak kemenangan gemilang kekaisaran Ruum atas Persia bersamaan dengan dengan kemenangan umat Islam di perang Badar atas kaum musyrikin.

Kalkulasi politik inilah yang membuat Madinah mau menerima kehadiran umat Islam, karena secara politis kedudukan mereka di masa depan akan kuat. Apalagi di kalangan penduduk Madinah, kabar-kabar kebangkitan nabi akhir zaman sudah lama terdengar terutama dikabarkan oleh kaum Yahudi, meskipun akhirnya kaum Yahudi ngambek karena ternyata sang nabi bukan berasal dari keturunannya.

Nah, karena acuan kita adalah al Quran, maka kebangkitan kembali Islam yang akan mengikuti pola itu. Masalahnya sekarang, yang manakah kekaisaran Ruum di zaman ini, mana pula yang merupakan kekaisaran Persia di zaman ini. Mana yang merupakan generasi kebangkitan seperti yang digambarkan dalam sejarah masa lalu. Negara macam Saudi Arabia, yang menjadi sekutu setianya AS merepresentasikan Madinah (desa berdaulat) atau Mekah (bawahan Persia).

Ingatlah sejarah itu selalu berulang, dan sudah pasti al Quran telah menjelaskan kejadian itu. Kalau kita tidak menemukannya, pasti akal kita yang salah memahami al Quran dan metode yang kita gunakan salah/ terbalik dalam menafsirkan al Quran. Nah, jika kita memahami momentum ini, kita akan tahu kapan hijrah harus dilakukan dan seperti apakah hakikat hijrah yang dilakukan para sahabat.

Makanya kita perlu kembali membaca sejarah dengan cara yang komprehensif. Jangan cuma mengandalkan data-data saja, tapi mengabaikan metode al Quran. Jangan juga cuma memaksakan teks al Quran, tanpa melakukan penjabaran secara akademik dari data pendukung sejarah (hadits dan kronik-kronik sejarah). Jangan kayak baca dongeng. Bacalah al Quran sebagai pedoman hidup, bukan sekadar membunyikannya biar dapat penghargaan karena rekor membunyikannya paling banyak. Hidup itu berlomba dalam kebaikan, bukan dalam banyak-banyakan, apalagi menang-menangan menguasai.

Juwiring, 31 Oktober 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.