Dakwah Rasulullah itu learning by doing. Masyarakat menemui problem lalu berkonsultasi dan Rasulullah menjawab sesuai kebutuhan. Teks-teks hadits menunjukkan bagaimana hal itu dilakukan beliau. Sayangnya kita itu kalau belajar hadits tidak pernah mengiringinya dengan imajinasi sejarah dan realitas kebudayaan masyarakat Arab jaman itu. Sehingga apa-apa serba tekstual parah. Giliran dimunculkan kata kontekstual, siap-siap saja dicap liberal. Padahal kaum liberal itu malah sangat tidak kontekstual, tapi ngawurtual.
Nah, seharusnya jika kita menggelar kajian Islam dan berbagai kegiatan dakwah, lihat obyek dakwahnya. Karena cara dakwah itu melahirkan kebudayaan baru, secara otomatis mewariskan tradisi kebudayaan. Dan itulah yang dilakukan para waliyullah di negeri ini, misalnya dengan merubah kebudayaan Jawa menjadi lebih Islami sehingga dengan sendirinya masyarakat merubah pola-pola kehidupannya menyesuaikan dengan ruh kebudayaan yang mereka serap dari pitutur bahasa para wali, ajaran wayang, gamelan, maupun berbagai sarana dakwah yang dibuat para wali.
Maka, sangat kontradiktif dengan kebanyakan tindakan dakwah kita sekarang. Meskipun demikian, kita kadang gengsi untuk mengakui bahwa kita sebenarnya bisa cuma menempel-nempelkan Islam dalam budaya kapitalisme yang sudah menyelimuti dunia. Kita baru bisa menyelenggarakan semacam masjid di pinggiran pasar kapitalisme yang menjadi pusat kebudayaan manusia modern. Karena posisi Islam yang sangat subordinatif itu, sehingga ketika ketemu masalah seperti pemilu, negara, bank, dll kita hanya ribut pada persoalan permukaan yang ujung-ujungnya cuma urusan perut dan eksistensi kita. Perdebatan fikih kontemporer saat ini, kebanyakan pasti soal begituan saja.
Padahal Islam itu seharusnya menjadi kerangka sekaligus kontennya. Lha kalau sekarang kan kerangkanya kapitalisme dan teman-temannya. Karena butuh penyegaran biar makin laris, konten-konten Islam dicuili juga dan dipasang di etalase kapitalisme. Hasilnya, ya sama saja, tidak ada perubahan mendasar, melainkan cuma pemandangan fisik yang berubah dan seolah-olah sudah sempurna. Guyonannya saat ini, bahkan Baitullah saja sudah disulap menjadi Paris van Arabia. Jika dahulu orang haji itu tidak peduli lagi dengan urusan kenyamana fasilitas, karena memang tujuannya berangkat mati demi kemuliaan, sekarang di Ka’bah pun sempat-sempatnya selfie. Jangan tanya lagi nasib masjid-masjid megah yang jadi mirip kuil itu. Betapa Islaminya orang sekarang. Hahaha
Juwiring, 17 Oktober 2016