Jika melihat konteks sejarah Rasulullah, masjid adalah suatu area yang disepakati sebagai pusat berkumpulnya manusia dengan satu visi yang sama, menyembah Allah.
Dalam aplikasinya, ada ruang utama masjid untuk shalat bagi yang sudah diberi hidayah dan ada serambi untuk masyarakat bertolong menolong dalam berbagai hal kebaikan, musyawarah bersama, hingga menyambut saudara yang berlainan iman. Jadi menurut saya, hakikat masjid itu pada fungsi, bukan ciri fisiknya. Apalagi masjid Nabawi zaman itu kan cuma tanah dengan pagar tembok, bagian mihrabnya diberi atap daun kurma dan mimbar. Orang shalat siap dengan segala kondisi, baik terik, dingin, hujan, hingga badai. Itulah pengabdian sejati.
Pertanyaannya, benarkah kita masih punya masjid? Apakah bangunan-bangunan megah, yang kubahnya terinspirasi dari gereja Kristen, menaranya terinspirasi dari Kuil Majusi, karpetnya terinspirasi dari Tiongkok, dan bangunannya memadukan berbagai arsitektur pra Islam itu masih benar-benar masjid? Benarkah ia membuat semua umat Islam bisa berkumpul? Benarkah ia bisa menjadi tempat gelandangan, fakir miskin, anak terlantar untuk mendapatkan hak pemeliharaan sesuai yang dijaminkan dalam al Quran? Benarkah ia bisa membuat orang yang berlainan iman nyaman untuk berlama-lama hingga ada yang mendapatkan hidayah?
Tidakkah kita khawatir kalau-kalau ternyata yang sering dipakai selfie dan rebutan kekuasaan ketakmiran itu cuma bangunan yang kita labeli masjid, padahal aslinya bukan masjid. Sementara fungsi masjidnya cuil-cuil, ada yang ditemu dan dipakai gereja, ada yang dipakai di pasar dan bank, diadopsi NGO dan lembaga riset, dan tercecer di berbagai tempat tanpa pernah dipungut umat Islam. Jangan-jangan umat Islam memang sudah kehilangan masjid. Bahkan 3 masjid utamanya pun sudah dikangkangi oleh kekuatan kapitalisme semuanya. Yang 2 jadi obyek wisata, yang 1 jadi tempat pembantaian.
Juwiring, 17 Oktober 2016