Di era Singhasari – Majapahit, orang Jawa itu over percaya dirinya, makanya dia dapat berkuasa atas banyak bangsa di kepulauan Nusantara dan terkadang (meski sangat jarang) menyulut peperangan dengan bangsa lainnya. Jika rajanya kebetulan orang besar, potensi itu dapat menjelma menjadi imperium besar di masanya. Namun ketika rajanya lemah, maka para lordwar (senopati keturunan raja) Majapahit pun berebut kuasa sebagai penerus raja sebelumnya.

Salah satu pencatat sejarah mengilustrasikan, saking makmurnya Jawa, bandar Malaka hidup karena banyak disuplai komoditasnya dari pulau Jawa. Kebesaran Jawa membuat mereka besar kepala dan enggan meletakkan barang-barang di atas kepala. Itulah mengapa menyentuh kepala untuk menghardik, dapat membuat orang Jawa murka dalam tradisi turun temurun. Jika ada orang non Jawa berdiri di tempat yang lebih tinggi, dan saat orang Jawa lewat kok mereka tidak turun, maka orang Jawa akan membunuhnya.

Kehadiran para wali yang mendakwahkan Islam mampu meredam kemerosotan moral masyarakat dan kepemimpinan Majapahit dengan berbagai transformasi nilai kebudayaan, adat istiadat, dan konsolidasi kepemimpinan Islam dari penyatuan kekuatan para lordwar Majapahit khususnya di pesisir yang telah memeluk Islam di bawah perintah Raden Fatah di Demak. Karya wayang Purwa baik lakon, penyajian, hingga perangkatnya adalah magnum opusnya para wali yang disokong oleh kesultanan Demak.

Hingga Raden Fatah meninggal, kepemimpinan Demak dan imperiumnya tidak pernah terlibat perang dengan sisa imperium Majapahit, karena mereka sama-sama keturunan Brawijaya. Bisa dikatakan bahwa Demak adalah suksesor Majapahit yang lebih sukses dari pada para penerus Majapahit yang ada di pedalaman. Barulah ketika Sultan Taranggono berkuasa, ada perbedaan pendapat di antara wali, ada yang menyerukan penumpasan sisa-sisa kekuatan Majapahit, ada yang netral, dan ada yang tidak setuju.

Meskipun tidak menjadi keputusan bulat, penumpasan sisa kekuatan Majapahit tetap dilaksanakan. Ketika penumpasan sisa-sisa kekuatan Majapahit terjadi, beberapa wali akhirnya menyelamatkan keluarga kerajaan Majapahit yang melarikan diri agar tidak terbunuh. Perbedaan pendapat juga terjadi saat suksesi kepemimpinan Demak pasca sultan Taranggono. Yang saya sukai adalah perbedaan pendapat para wali ini tidak lantas membuat institusi dakwah tersebut bubar dan saling bermusuhan.

Namun demikian, yang namanya nafsu berkuasa itu memang mengerikan. Setelah geger di akhir kesultanan Demak dapat diakhiri dengan lahirnya kesultanan Pajang, nafsu berkuasa para lordwar Majapahit kembali diwarisi oleh generasi mereka yang kini menjadi adipati-adipati muslim di berbagai negeri di Jawa. Maka tak heran jika setelah Demak berakhir, perang sipil di Jawa terus terjadi tanpa henti nyaris satu abad lamanya dan membuat penduduk pulau Jawa berkurang drastis. Awalnya Mataram mampu menjadi penguasa baru yang perkasa, tapi di kemudian hari juga lemah karena raja-rajanya tak sehebat pendahulunya.

Mataram yang mulai terdesak memilih bekerja sama dengan VOC untuk menumpas trahnya sendiri yang ada di berbagai penjuru pulau Jawa yang enggan menyerah pada Mataram. Sejak itu, penguasa Mataram semakin menjadi seperti perawan yang dimanjakan oleh kakek bule. Dan sejak saat itu, bangsawan kita banyak yang mulai munduk-munduk menyembah orang bule. Jika ada pemberontakan, Mataram mempercayakan pada VOC untuk menumpasnya, kemudian wilayah kekuasaannya berkurang karena diminta sebagai hadiah untuk kompeni.

Karena para wali belum berhasil merevolusi feodalisme sistem kasta warisan Majapahit, di era Demak, kawula alit masih banyak yang munduk-munduk di hadapan Sultan dan para wali. Belum lagi revolusi selesai, para bangsawan keburu rebutan kekuasaan dan membuat proses dakwah mandeg. Karena semakin ke belakang, para raja juga semakin berani kepada ulama, sehingga banyak pesantren dan padepokan para wali dihancurkan ketika mereka tak memberi restu para raja.

Celah feodalisme inilah yang kemudian disuburkan terus menerus oleh VOC dan pemerintah Hindia Belanda. Perkawinan kaum kolonialis dengan infrastruktur kekuasaan pribumi inilah yang melanggengkan kekuasaan penjajahan sampai 350 tahun lamanya. Dari sinilah bangsa Jawa dan bangsa-bangsa lain di Nusantara banyak yang kehilangan rasa percaya dirinya, pengecut, suka korupsi, suka berkhianat, dan mudah melacurkan diri mereka karena krisis kehormatan yang melanda.

Memang perlawanan tetap ada, dari para penerus wali yang tergabung dalam berbagai tarekat maupun bangsawan yang paham akan sejarah kehormatan leluhurnya. Sebutlah Pangeran Diponegoro, yang berhasil membuat Belanda bangkrut dan pecah negaranya menjadi Belgia-Belanda. Walau kekuasaan bangsa Jawa lemah secara politik dan akhirnya terpuruk, namun sisa-sisa pasukan perang Jawa di kemudian hari berhasil membangun kembali jaringan ulama Nusantara yang nanti melahirkan Muhammadiyah dan NU, serta organisasi dakwah lainnya.

Mengingat peristiwa sejarah tetap penting walau menyakitkan. Bagi bangsa Jawa yang pernah berkuasa, lalu dihinakan VOC dan menjadi budak Belanda tentu sangat menyakitkan. Bagaimana para ksatria Jawa dan Ambon dikirim oleh pemerintah Hindia Belanda ke Aceh untuk menumpas pejuang Aceh, dikirim ke Bali untuk menupas pejuang Bali, dan ke berbagai tempat yang akhirnya lebih tepat kita sebut dengan adu antar anak bangsa. Berperang dengan sesama bangsa di Nusantara betapa menyakitkan sekali jika dikenang.

Dengan mengingat peristiwa itu, semoga kita bisa mengendalikan diri agar tidak merusak sendi-sendi ukhuwah Islamiyah dan persatuan Indonesia. Karena nikmat persatuan bangsa-bangsa di Nusantara ini adalah karunia besar dari Allah. Dan seharusnya membuat kita takjub pada-Nya, lalu kita bertekad untuk memeliharanya.

Ngawen, 9 Juli 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.